Antara impian dan kenyataan, sering gagal bukan karena kurang mampu, tetapi karena konsistensi ditinggalkan. Refleksi Islami dengan dalil Al-Qur’an, hadits, dan aksi nyata.
Setiap manusia memiliki impian. Ada yang memimpikan kesuksesan dunia, ketenangan jiwa, keluarga yang bahagia, ilmu yang bermanfaat, hingga cita-cita meraih ridha Allah SWT. Namun kenyataannya, tidak sedikit impian yang berhenti di angan-angan. Kita pandai bermimpi, pandai menyusun rencana, tapi sering kali lemah dalam satu hal yang paling menentukan: konsistensi.
Banyak orang memulai dengan semangat membara, namun perlahan memudar saat jalan terasa berat. Di sinilah jarak antara impian dan kenyataan terbentang lebar. Bukan karena kurangnya potensi, bukan pula karena takdir yang kejam, melainkan karena konsistensi yang ditinggalkan di tengah jalan.
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk hanya bermimpi tanpa usaha yang berkelanjutan. Allah SWT berulang kali menegaskan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan dijaga secara terus-menerus.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan bukanlah hasil dari keinginan sesaat, tetapi dari proses panjang yang dijalani dengan kesungguhan dan keberlanjutan. Mengubah diri tidak cukup sekali niat, tetapi perlu istiqamah dalam amal.
Allah juga berfirman:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-‘Ankabut: 69)
Kesungguhan yang dimaksud bukan semangat sesaat, tetapi ketekunan yang terus dijaga. Jalan menuju impian hanya akan terbuka bagi mereka yang mau bertahan di tengah lelah.
Secara psikologis dan spiritual, ada beberapa sebab mengapa konsistensi sering ditinggalkan:
Banyak orang memulai sesuatu karena terdorong emosi: semangat, haru, takut, atau kagum. Namun emosi tidak bersifat permanen. Ketika perasaan turun, amal ikut runtuh. Padahal, kehidupan justru ditentukan saat emosi tidak berpihak.
Kita hidup di zaman serba cepat. Akibatnya, kita ingin perubahan juga serba instan. Ketika usaha belum menampakkan hasil, muncul pikiran: “Untuk apa dilanjutkan?”
Padahal Allah berfirman:
“Dan sungguh, akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.”
(QS. Ad-Dhuha: 4)
Artinya, fase lambat dan berat sering kali adalah pintu menuju hasil yang jauh lebih besar.
Sebagian orang hanya kuat ketika mendapat apresiasi. Saat perjuangan berjalan tanpa sorotan, langkah melemah. Padahal banyak amal besar justru tumbuh dalam kesunyian.
Mereka mengira ujian datang sekali, padahal ujian adalah teman sepanjang perjalanan. Tanpa kesabaran, konsistensi akan tumbang.
Rasulullah ﷺ memberikan fondasi yang sangat kuat tentang pentingnya konsistensi. Dalam sebuah hadits yang masyhur, beliau bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menampar cara berpikir banyak orang yang lebih mengejar ledakan semangat daripada kesinambungan. Dalam Islam, nilainya bukan pada besarnya di awal, tetapi pada keteguhan dalam perjalanan.
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa iman itu bisa naik dan turun. Namun yang membedakan orang kuat dan lemah bukanlah mereka yang tak pernah jatuh, melainkan mereka yang tidak berhenti bangkit dan melanjutkan langkah.
Para ulama sejak dahulu menempatkan istiqamah sebagai inti dari keberhasilan hidup.
Imam Al-Ghazali رحمه الله mengatakan:
“Amal yang sedikit namun terus-menerus lebih baik daripada amal yang banyak tetapi terputus.”
Sementara Imam Hasan Al-Bashri رحمه الله berkata:
“Jika iman hanya ucapan, semua orang akan masuk surga. Tetapi iman adalah kesabaran dalam ketaatan, menjauhi maksiat, dan menerima takdir.”
Maknanya, iman yang sejati tampak dalam konsistensi, bukan dalam klaim.
Sufyan Ats-Tsauri رحمه الله bahkan mengatakan bahwa istiqamah lebih berat daripada ribuan karamah, karena istiqamah menuntut kesabaran setiap hari, bukan keajaiban sesaat.
Banyak orang mencintai hasil, tetapi tidak mencintai proses. Mereka ingin sukses, tetapi tidak siap dengan disiplin. Mereka ingin tenang, tetapi enggan menghadapi kesabaran. Mereka ingin bahagia, tetapi tidak kuat menanggung luka.
Padahal dunia ini memang tempat lelah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah.”
(QS. Al-Balad: 4)
Ayat ini bukan ancaman, melainkan peringatan: lelah adalah bagian dari kehidupan, bukan kesalahan hidup. Masalahnya bukan pada rasa lelah, tetapi pada keputusan untuk berhenti.
Setiap mimpi yang besar selalu diikuti perjalanan yang panjang. Tidak ada kesuksesan yang lahir dari konsistensi sehari dua hari. Orang yang hari ini kita lihat berada di puncak, dahulu pernah berada di titik ragu, lelah, bahkan hampir menyerah.
Namun mereka berbeda dalam satu hal: mereka tidak berhenti.
Allah SWT menggambarkan realitas perjuangan ini melalui firman-Nya:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata: ‘Kami telah beriman,’ sementara mereka tidak diuji?”
(QS. Al-‘Ankabut: 2)
Ujian bukan tanda kegagalan, tetapi tanda bahwa seseorang sedang diproses menuju kedewasaan.
Ada orang yang berhenti dengan dalih “ini memang takdirku”. Padahal takdir tidak pernah mematahkan usaha. Justru Allah memerintahkan usaha sebelum tawakal.
Allah berfirman:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An-Najm: 39)
Takdir tidak pernah menjadi alasan untuk malas, tetapi menjadi alasan untuk lebih bersungguh-sungguh.
Impian yang tidak diiringi konsistensi sejatinya hanyalah angan-angan. Kejujuran terhadap mimpi dibuktikan lewat:
Ketekunan saat tak ada yang melihat
Kesabaran saat hasil belum tampak
Kesetiaan pada proses meski lambat
Keikhlasan dalam jatuh bangun
Di sinilah banyak orang gugur di tengah jalan. Mereka mencintai hasil, tetapi tidak mencintai proses.
Padahal Allah selalu menilai usaha, bukan hanya capaian:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An-Najm: 39)
Ayat ini menutup semua alasan untuk menyerah. Tidak ada yang sia-sia selama ada ikhtiar.
Agar konsistensi tidak hanya menjadi teori, ada beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan:
Tidak perlu langsung menargetkan perubahan besar. Mulailah dari yang kecil, tetapi pastikan dilakukan setiap hari. Lebih baik satu halaman Al-Qur’an setiap hari daripada satu juz seminggu lalu berhenti.
Perbarui niat bahwa setiap usaha adalah bagian dari ibadah. Saat niat lurus karena Allah, lelah pun terasa ringan.
Berada di sekitar orang-orang yang menjaga konsistensi akan menulari semangat istiqamah.
Tidak semua hari akan produktif. Yang penting bukan sempurna setiap hari, tetapi tidak berhenti selamanya.
Rasulullah ﷺ sering berdoa:
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
(HR. Tirmidzi)
Jika Nabi saja memohon keteguhan hati, apalagi kita.

Impian tidak pernah menuntut kita untuk sempurna, tetapi menuntut kita untuk setia pada proses. Jarak antara impian dan kenyataan sejatinya dijembatani oleh satu hal yang sering kita abaikan: konsistensi. Istiqamah dalam kebaikan, dalam ikhtiar, dalam doa, dan dalam amal adalah bukti kejujuran kita terhadap cita-cita hidup yang lebih bermakna. Seperti yang diajarkan Al-Qur’an, hadits, dan nasihat para ulama, keberhasilan sejati bukanlah hasil dari semangat sesaat, melainkan buah dari keteguhan yang dijaga setiap hari, meski dalam langkah kecil.
Sebagai wujud nyata menjaga konsistensi dalam kebaikan, salah satu amal yang bisa kita biasakan adalah bersedekah. Sedekah bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga melatih hati agar tetap hidup dalam kepedulian dan keikhlasan. Kini, bersedekah bisa dilakukan dengan mudah dan aman melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, salurkan sedekah terbaik kita melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga setiap konsistensi kecil yang kita jaga—termasuk dalam bersedekah—menjadi jalan turunnya keberkahan, dilapangkan rezeki, dikuatkan langkah menuju impian, serta menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir hingga akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Antara Impian dan Kenyataan, Ada Konsistensi yang Sering Ditinggalkan
