Apakah KPR termasuk riba? Simak pembahasan lengkap tentang hukum KPR konvensional menurut syariat Islam, dalil Al-Qur’an dan hadis, pendapat ulama, serta alternatif KPR syariah seperti murabahah, istishna’, dan IMBT.
Memiliki rumah adalah impian setiap keluarga. Namun tingginya harga properti membuat sebagian besar masyarakat memilih pembiayaan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Masyarakat kemudian dihadapkan pada pertanyaan penting: apakah KPR konvensional dibenarkan dalam Islam? Apakah ada unsur yang dilarang syariat di dalam akad tersebut? Dan jika larangannya jelas, apa solusi syariah yang bisa menjadi alternatif?
Dalam ajaran Islam, transaksi finansial harus terbebas dari unsur pengambilan keuntungan yang tidak sah (terlarang), khususnya dalam akad utang-piutang. Karena itu, sebelum mengambil KPR seseorang dituntut memahami bagaimana mekanisme pembiayaan tersebut bekerja dan apakah ia sesuai dengan ketentuan syariat.
Riba adalah tambahan atau kelebihan yang disyaratkan dalam transaksi utang-piutang. Dalam syariat, riba termasuk dalam kategori dosa besar (kabâ’ir).
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba… Jika kamu tidak melakukannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.”
(QS. Al-Baqarah: 278–279)
Ayat ini menunjukkan betapa beratnya dosa riba. Tidak ada dosa lain yang secara eksplisit disebut mendatangkan “perang” dari Allah kecuali riba.
Nabi SAW pun menegaskan:
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya.”
(HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam sistem riba mendapat bagian dosa.
Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat bagaimana mekanisme KPR konvensional bekerja:
Bank memberikan pinjaman uang kepada pembeli rumah.
Pembeli mengembalikan uang tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Pengembalian dikenakan bunga yang jumlahnya sudah dipastikan dalam perjanjian.
Akad seperti ini termasuk utang-piutang (qardh) yang disertai tambahan (bunga). Tambahan inilah yang disebut riba.
Mayoritas ulama sepakat bahwa tambahan dalam utang adalah bunga, sebagaimana kaidah:
“Setiap pinjaman yang memberikan manfaat adalah riba.”
(Kaidah fikih, disepakati banyak ulama)
Ibn Qudamah (al-Mughni): “Setiap pinjaman yang disyaratkan untuk memberi tambahan adalah haram, tanpa ada perselisihan.”
Imam Nawawi: “Tambahan dalam akad qardh secara ijma’ adalah riba yang diharamkan.”
Ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, dan Lembaga Fiqih Islam Internasional memutuskan bahwa transaksi kredit berbasis bunga termasuk riba.
Karenanya, KPR konvensional yang berbasis bunga termasuk riba yang jelas diharamkan.

Melihat kebutuhan umat terhadap hunian, para ulama dan pakar ekonomi Islam merancang solusi pembiayaan yang sesuai syariat. Beberapa jenis akadnya adalah:
Bank membeli rumah terlebih dahulu, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang sudah ditentukan (harga pokok + margin keuntungan).
Harga tersebut tetap hingga akhir masa pembayaran.
Keuntungan dalam jual beli halal, sehingga akad murabahah bebas dari unsur terlarang.
Digunakan jika rumah masih dalam proses pembangunan.
Bank membiayai pembangunan terlebih dahulu, lalu menjual hasil bangunannya kepada nasabah.
Bank menyewakan rumah kepada nasabah selama periode tertentu. Setelah masa sewa, rumah tersebut diserahkan atau dijual kepada nasabah dengan kontrak terpisah.
Seluruh akad ini telah diatur dalam fatwa DSN-MUI dan dinilai sesuai prinsip syariah karena tidak mengandung unsur tambahan dalam utang.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa total pembayaran KPR syariah tetap lebih besar dibanding harga asli rumah, sehingga “terkesan sama saja” dengan sistem konvensional. Namun perlu dipahami bahwa:
Keuntungan dalam jual beli halal, berbeda dengan bunga utang.
Perbedaan besar terletak pada akad:
Konvensional = utang + bunga → riba
Syariah = jual beli barang dengan margin → halal
Margin keuntungan sudah disepakati di awal dan tidak berubah.
Karena itu, meskipun total pembayaran lebih besar, secara syariah akadnya tetap halal karena berbasis jual beli, bukan pinjaman.
Ulama memberikan beberapa pedoman agar seorang Muslim aman dari transaksi terlarang:
Utamakan pembiayaan syariah, karena ia dirancang agar selaras dengan hukum Islam.
Jika belum mampu, bersabarlah dan menabung sampai kondisi memungkinkan.
Hindari memaksakan diri, karena rumah yang diperoleh melalui cara yang dilarang tidak akan membawa keberkahan.
Perbanyak doa dan tawakal, karena meninggalkan hal yang dilarang dijanjikan ganti yang lebih baik.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan yang lebih baik.”
(HR. Ahmad)

Beberapa masyarakat memilih opsi lain seperti:
Menabung emas untuk kemudian dijual sebagai DP rumah.
Mengikuti arisan rumah berbasis syariah.
Membeli tanah terlebih dahulu, lalu membangun bertahap.
Kerja sama keluarga tanpa tambahan yang dilarang.
Cara-cara ini dapat menjadi pilihan tanpa harus masuk ke akad yang meragukan.
Berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama, KPR konvensional yang berbasis bunga adalah riba dan haram hukumnya. Namun Islam memberikan solusi melalui KPR syariah dengan akad murabahah, IMBT, atau istishna’, yang telah difatwakan halal oleh para ulama.
Mendapatkan rumah adalah kebutuhan penting, tetapi tidak boleh ditempuh melalui jalan haram. Allah telah menjanjikan keberkahan bagi siapa pun yang meninggalkannya demi mencari ridha-Nya.
Kamu dapat menyalurkan fidyah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi , yang menyalurkan fidyah, zakat, dan infak dengan amanah dan tepat sasaran. Semoga dengan menunaikan fidyah dengan benar, ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadi jalan menuju keberkahan, ampunan, serta ridha-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai KPR rumah apakah riba? melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Apakah KPR Termasuk Riba? Ini Pendapat Ulama dan Solusi Syariahnya
