Fenomena cancel culture di era digital memicu perdebatan: apakah sebagai upaya menegakkan keadilan atau justru terjerumus ghibah dan fitnah? Simak ulasan lengkap dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama, serta pro-kontra efek sosialnya.
Di era digital, informasi menyebar dengan sangat cepat, dan fenomena cancel culture atau budaya “membatalkan” seseorang karena ucapan atau tindakan kontroversial semakin marak. Banyak yang melihat cancel culture sebagai cara menegakkan keadilan sosial, tetapi tidak sedikit pula yang menilai praktik ini berpotensi menjadi sarana ghibah, fitnah, dan penghakiman sepihak.
Dalam perspektif Islam, menyebarkan aib atau kesalahan orang lain tanpa adab dan klarifikasi bisa melanggar prinsip etika. Namun, menegur kesalahan juga diperbolehkan jika tujuannya untuk maslahat umum, sesuai prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Cancel culture adalah tindakan menolak atau mengkritik individu/kelompok karena tindakan, perkataan, atau pandangan kontroversial, biasanya melalui media sosial. Contohnya, seorang publik figur mendapat boikot karena komentar kontroversial yang viral. Fenomena ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang mempercepat penyebaran opini dan memengaruhi opini publik.
Dalam konteks Islam, tindakan cepat menilai dan menyebarkan aib orang lain harus berhati-hati agar tidak melanggar larangan ghibah (menggunjing) dan fitnah.

Larangan Ghibah dan Fitnah
QS. Al-Hujurat [49]:12:
“Janganlah kamu menggunjing orang lain; apakah salah seorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Bertakwalah kepada Allah.”
Hadits Nabi SAW:
“Janganlah kalian saling membenci, jangan saling iri, jangan saling mendengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Keadilan dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
QS. Al-Imran [3]:104:
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ini menegaskan bahwa menegur kesalahan diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang benar dan etis.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (al-Mughni, Juz 6)
Ibnu Qudamah menekankan bahwa menegur kesalahan diperbolehkan jika bertujuan maslahat umum, dengan syarat:
Dilakukan dengan hikmah dan kelembutan.
Tidak menyebarkan aib orang secara terbuka tanpa kebutuhan.
Memastikan klarifikasi dan fakta benar.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Fatwa Islamiyyah, Vol. 2, hlm. 45-46)
Menyebarkan kesalahan orang lain di publik bisa termasuk ghibah dan fitnah jika dilakukan tanpa izin atau niat menegakkan kebaikan. Ulama ini menekankan hati-hati dalam memviralkan kesalahan orang, karena bisa menimbulkan kerusakan sosial dan dosa besar.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Majmu’ Fatawa, Juz 15, hlm. 120)
Bin Baz mengingatkan bahwa menegur dengan maksud mendidik diperbolehkan, tetapi jangan sampai menjadi ajang memojokkan atau menghina. Menurutnya, media sosial memperbesar risiko kesalahan dalam menilai, sehingga ulama menganjurkan klarifikasi sebelum menyebarkan informasi.
Menegakkan Pertanggungjawaban
Individu, terutama publik figur, dapat segera menanggung konsekuensi atas tindakan atau ucapan yang merugikan orang lain.
Meningkatkan Kesadaran Sosial
Cancel culture dapat menjadi sarana edukasi publik tentang perilaku yang tidak pantas, mendorong masyarakat lebih sadar akan etika dan norma sosial.
Mendorong Perbaikan Diri
Kritik yang disampaikan dengan benar bisa membuat individu menyadari kesalahan dan memperbaiki diri. Ini sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, jika dilakukan dengan adab dan tujuan baik.
Risiko Ghibah dan Fitnah
Informasi yang belum diverifikasi atau disebarkan secara emosional bisa menjatuhkan reputasi orang lain, melanggar larangan Islam terkait ghibah.
Hukuman Sosial Berlebihan
Kesalahan kecil bisa diperbesar hingga menjadi hukuman publik yang tidak proporsional, menciptakan ketakutan atau tekanan sosial.
Munculnya Kebencian dan Penghakiman Sepihak
Cancel culture bisa memicu permusuhan, dendam, dan sikap judgemental, bukan niat menegakkan kebenaran.
Potensi Salah Niat
Jika niat sekadar balas dendam atau mencari kepuasan pribadi, maka tindakan ini menjadi sia-sia dan dosa, menurut ulama seperti Al-Utsaimin dan Bin Baz.

Fenomena cancel culture menampilkan dilema moral di era digital: di satu sisi menegakkan keadilan sosial, di sisi lain berisiko menjadi ghibah dan fitnah. Islam mendorong amar ma’ruf nahi munkar, tetapi harus disertai prinsip adab, klarifikasi fakta, dan niat tulus.
Ulama seperti Ibnu Qudamah, Al-Utsaimin, dan Bin Baz menekankan bahwa kritik terhadap kesalahan diperbolehkan, selama bertujuan mendidik, bukan menghina. Dengan prinsip ini, cancel culture bisa menjadi sarana positif: menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran tanpa melanggar ajaran Islam.
Kamu dapat menyalurkan fidyah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi , yang menyalurkan fidyah, zakat, dan infak dengan amanah dan tepat sasaran. Semoga dengan menunaikan fidyah dengan benar, ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadi jalan menuju keberkahan, ampunan, serta ridha-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai cancel culture di era digital dalam syariat islam melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Cancel Culture di Era Digital: Menegakkan Keadilan atau Terjerumus Ghibah dan Fitnah
