BAZNAS
  • Tentang Kami
    • Profil
    • Program
    • Laporan
    • Kontak Kami
    • Pengaduan
  • PPID
  • Layanan
    • Rekening Zakat
    • Kalkulator Zakat
    • Konfirmasi Donasi
    • Channel Pembayaran
    • Jemput Zakat
  • Kabar
    • Semua
    • Artikel
    • Cerita Aksi
    • Press Release
  • Donasi
    • Bantuan Sosial
    • Tunaikan Sedekah Terbaikmu Hari Ini
  • ZAKAT
  • INFAK
  • ZAKAT Fitrah
  • FIDYAH
ZAKAT FITRAH
BAZNAS
  • Infak
  • Zakat
  • Fidyah
  • Home
  • Tentang Kami
    • Profil
    • Program
    • Laporan
    • Kontak Kami
    • Pengaduan
  • PPID
  • Layanan
    • Rekening Zakat
    • Kalkulator Zakat
    • Konfirmasi Donasi
    • Channel Pembayaran
    • Jemput Zakat
  • Kabar
    • Semua
    • Artikel
    • Cerita Aksi
    • Press Release
  • Donasi
    • Bantuan Sosial
    • Tunaikan Sedekah Terbaikmu Hari Ini

Hidup yang Lebih Tenang Dimulai dari Kata “Cukup”

26 Nov 2025
Artikel
Hidup yang Lebih Tenang Dimulai dari Kata “Cukup”

Hidup yang lebih tenang dimulai dari kata “cukup”. Artikel ini membahas makna qana’ah dalam Islam, dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama, serta solusi praktis agar hati selalu merasa cukup dan damai.

Di antara sekian banyak keinginan manusia, ada satu kata pendek yang sering kita lupa: cukup. Banyak orang berusaha mengejar kekayaan, kedudukan, dan pengakuan tanpa pernah merasa puas. Padahal, ketenangan adalah buah dari hati yang bisa mengatakan, “Aku sudah cukup.” Dalam Islam, rasa cukup disebut qana’ah. Ia bukan berarti tidak berusaha atau berhenti bekerja, melainkan menerima apa yang Allah berikan sambil terus memperbaiki diri.

1. Makna “Cukup” dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, konsep cukup dikenal dengan istilah qana‘ah. Imam Al-Ghazali menyebut qana‘ah sebagai sikap hati yang menerima rezeki dari Allah dengan ridha, tanpa menolak upaya dan ikhtiar yang benar. Artinya, merasa cukup bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai sumber kegelisahan dan ukuran kebahagiaan. Orang yang qana’ah tetap bekerja, tetapi ia tidak menjadikan hasil materi sebagai standarisasi nilai diri.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.”
(QS. At-Talaq: 2–3)

Ayat ini menegaskan bahwa kecukupan bukan berasal dari usaha manusia semata, tetapi dari ketentuan Allah. Seseorang bisa memiliki harta yang banyak namun tak merasa cukup, dan bisa memiliki harta sedikit namun hatinya tenang. Kecukupan adalah rezeki hati, bukan sekadar rezeki materi. Karena itu, cukup bukan angka—ia adalah keadaan jiwa.

Rasulullah SAW menegaskan prinsip ini dalam sebuah hadis:

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada jumlah kepemilikan, melainkan pada kondisi jiwa yang tidak mudah diperbudak oleh keinginan duniawi. Bila hati kaya, maka kehilangan tidak akan menghancurkan kita dan kelebihan tidak akan membuat kita sombong.

2. Mengapa Manusia Sulit Merasa Cukup

Kesulitan manusia untuk merasa cukup muncul dari dua hal utama: hasrat tanpa batas dan tekanan sosial.

Pertama, nafsu manusia tidak pernah merasa puas. Nabi SAW bersabda:

“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan mencari lembah ketiga. Tidak ada yang memenuhi perut manusia kecuali tanah (kematian).”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menggambarkan sifat dasar manusia: semakin banyak ia punya, semakin banyak ia ingin. Tidak ada garis akhir ketika yang dikejar adalah keinginan, bukan kebutuhan. Inilah mengapa banyak orang sudah mapan secara finansial, namun tetap tidak merasa aman. Mereka merasa harus memiliki tabungan lebih, aset lebih, status lebih—hingga hidup habis hanya untuk mengejar “lebih.”

Kedua, tekanan sosial membuat standar hidup berubah menjadi perlombaan.
Media sosial memperparah keadaan: apa yang dulu dianggap cukup kini terlihat “kurang”. Teman baru membeli mobil? Kita merasa motor tak lagi layak. Teman lain menikah? Kita merasa hidup belum sempurna. Lihat influencer liburan? Kita jadi merasa hidup kita membosankan. Hidup berubah dari sekadar bersyukur menjadi membandingkan diri tanpa henti.

Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa hati manusia tak akan pernah puas dengan dunia. Dunia ibarat air laut: semakin diminum, semakin haus. Karena itu, seseorang akan lelah bila mengejar dunia tanpa batas. Tidak ada titik berhenti. Selalu ada seseorang yang lebih kaya, lebih sukses, atau lebih beruntung, sehingga rasa cukup akan selalu tertunda jika kita mengukurnya dari perbandingan.

Bahkan sebagian orang rela melakukan hal buruk demi terlihat berhasil—korupsi kecil, manipulasi kerja, memalsukan citra di media sosial. Di sini, bukan dunia yang mengendalikan manusia, tapi manusia yang menjadikan dunia sebagai tuhan kecil.

BAZNAS Kota Sukabumi

3. Manfaat Merasa Cukup

Ketika seseorang mampu berkata “cukup”, maka ia meraih tiga hal sekaligus: ketenangan, kebebasan, dan keberkahan.

Pertama, ketenangan.
Orang yang merasa cukup hidupnya lebih ringan. Tidak iri, tidak gelisah, tidak sibuk membandingkan diri. Bahkan dalam keterbatasan materi, ia tetap bisa tersenyum karena mengukur hidup bukan dari apa yang hilang, tetapi dari apa yang ada. Ia punya kemampuan menikmati hal kecil: makan bersama keluarga, tidur nyenyak, beribadah tanpa tekanan.

Kedua, kebebasan.
Orang yang cukup bebas dari obsesi konsumtif. Ia bekerja bukan untuk pamer kekayaan, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan beribadah. Ia tidak terjebak dalam lingkaran “bekerja untuk gaya hidup—gaya hidup untuk terlihat kaya—lalu kembali bekerja untuk membayarnya.” Banyak manusia modern bukan bekerja untuk hidup, tetapi hidup untuk membayar tagihan gaya hidup.

Ketiga, keberkahan. Nabi SAW bersabda:

“Telah beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki cukup, dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kecukupan bukan hanya nikmat dunia, tetapi juga bagian dari keberuntungan ibadah. Seseorang yang qana’ah akan melihat rezeki bukan hanya sebagai uang: anak yang sehat, rumah yang aman, keluarga yang saling mencintai, waktu untuk ibadah—semua adalah karunia.

4. Pandangan Ulama tentang Kecukupan

Banyak ulama menekankan pentingnya qana’ah sebagai pintu kebahagiaan.

  • Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa qana’ah adalah benteng dari sifat tamak yang merusak hati dan martabat manusia. Orang tamak kehilangan akalnya: ketika ia memperoleh satu keinginan, ia segera mengejar keinginan berikutnya, seperti anak yang tak henti meminta mainan.

  • Ibn Rajab Al-Hanbali menambahkan bahwa qana’ah bukan hanya puas dalam harta, tetapi juga berhenti mempersalahkan takdir. Ketika seseorang tidak menerima pembagian Allah, ia sebenarnya sedang mempertanyakan kebijaksanaan Sang Pencipta.

  • Imam Nawawi menyampaikan bahwa qana’ah adalah salah satu kunci kebahagiaan karena ia menghindarkan hati dari kegelisahan. Orang yang qana’ah tidak mudah cemburu, tidak mudah marah karena dunia, dan tidak merasa hidupnya gagal ketika melihat kesuksesan orang lain.

5. Mengapa Kita Sulit Merasa Cukup?

Ada beberapa alasan psikologis dan sosial mengapa manusia terus merasa kurang:

  1. Budaya perbandingan — Media sosial membuat kita menilai diri dengan standar orang lain. Kita lupa melihat nikmat yang kita miliki.

  2. Keinginan instan — Zaman sekarang mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa dibeli. Padahal, keinginan yang terpenuhi hanya memunculkan keinginan baru.

  3. Minimnya rasa syukur — Syukur ibarat rem, jika ia rusak kita akan terus melaju tanpa kendali.

  4. Tidak ada tujuan hidup yang jelas — Orang yang hidup hanya untuk uang tidak akan pernah merasa cukup, karena uang tidak punya titik akhir.

6. Bukti Bahwa “Cukup” Membawa Ketentraman

Orang yang merasa cukup hidupnya lebih ringan. Ia mengontrol pengeluaran, tidak mudah marah saat melihat kesuksesan orang lain, dan lebih fokus pada nilai spiritual. Dada terasa lapang karena tidak membawa beban yang tidak perlu.

Menariknya, orang yang merasa cukup justru sering mendapat lebih. Dunia cenderung memberi ruang bagi yang tenang, bukan yang panik. Dalam pekerjaan, orang yang jujur, stabil, dan tenang biasanya dipercaya lebih banyak. Dalam keluarga, sikap cukup menenangkan pasangan dan anak. Dalam ibadah, rasa cukup menumbuhkan syukur yang membuka pintu rezeki.

BAZNAS Kota Sukabumi

7. Solusi Praktis Agar Kita Selalu Merasa Cukup

1. Batasi keinginan, bukan usaha.
Tetap kerja keras, namun jangan biarkan keinginan tanpa batas. Ambil target realistis sesuai kemampuan.

2. Biasakan syukur harian.
Tulis tiga hal yang patut disyukuri setiap hari. Sekecil apa pun, syukur membentuk pola pikir positif.

3. Sadar bahwa rezeki bukan hanya uang.
Kesehatan, teman baik, kemampuan berpikir, keluarga harmonis—semua adalah rezeki yang nilainya melebihi angka di bank.

4. Hindari perbandingan berlebihan.
Media sosial boleh digunakan, tapi jangan membiarkan diri menjadi korban comparison trap.

5. Berbagi dengan orang lain.
Sedekah menenangkan. Ketika kita memberi, hati akan merasa sudah memiliki cukup untuk dibagikan.

6. Hidup sederhana.
Bukan berarti miskin, tetapi membeli sesuai kebutuhan, bukan keinginan.

7. Perbanyak doa.
Doa Nabi ﷺ ini sangat dianjurkan:

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan daripada apa yang Engkau haramkan, dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu.”

Doa ini melembutkan hati, menenangkan batin, dan menutup pintu kerakusan.

Kesimpulan

Hidup yang tenang bukan datang dari seberapa besar harta, melainkan dari seberapa siap hati mengatakan: “Ini sudah cukup.” Islam mengajarkan keseimbangan: bekerja sungguh-sungguh, tapi tidak lupa batas. Qana’ah bukan pasrah, tetapi ridha. Ia adalah seni memilih kebahagiaan daripada keinginan tak berujung. Selama kita mampu bersyukur, mengendalikan diri, dan mengingat bahwa rezeki berasal dari Allah, hidup akan menemukan ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh dunia.

Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.

Yuk, berinfak dan menjadi muzaki cerdas melalui  BAZNAS Kota Sukabumi.
Infak Anda akan menjadi ladang amal yang terus mengalir, meski Anda sedang tidur, bekerja, atau beribadah.
Di tangan lembaga yang amanah, yang  Anda keluarkan tak hanya menjadi angka—ia menjadi doa, manfaat, dan kehidupan baru.

Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai bagaimana agar kita selalu merasa cukup melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Hidup yang Lebih Tenang Dimulai dari Kata “Cukup”

BAZNAS Kota Sukabumi
Share

Baca Juga

Artikel
MENGHADAPI KELUARGA TOXIC,TRAUMA,EMOTIONAL ABOUSE : BERKACA DARI KISAH PARA NABI
13 Aug 2025
Artikel
Kenapa Banyak Orang Belum Jadi Muzakki Padahal Sudah Mampu?
26 Nov 2025
Artikel
Amal Jariyah Masa Kini: Berbagi Bersama BAZNAS untuk Masa Depan
26 Nov 2025
Artikel
Dari Dompet ke Hati: Bagaimana Sedekah Mengubah Hidup Pemberi dan Penerima
26 Nov 2025
Artikel
Perlu Nggak Sih Kita Jadi Muzakki? Banyak yang Belum Tahu
26 Nov 2025
Cerita Aksi
Kunjungan studi implementasi kebijakan pencapaian Indeks zakat nasional ke kota sukabumi
26 Nov 2025
Artikel
Bukan Kurang Bahagia, Mungkin Kamu Lupa Satu Hal yang Islam Ajarkan
26 Nov 2025
BAZNAS Gedung Islamik Center, Jl. Veteran II No.2, Gunungparang, Kec. Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat 43111
(0266) 6245222

Kenali Kami

  • Tentang Kami
  • Syarat & Ketentuan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami

Layanan

  • Rekening Zakat
  • Konfirmasi Donasi
  • Kalkulator
  • Channel Pembayaran
  • Jemput Zakat

Donasi

  • Program
  • Zakat
  • Infak
  • Fidyah

Ikuti Kami

  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
© 2025 - Baznas Kota Sukabumi