Pelajari bagaimana menjaga keberkahan harta dengan menunaikan kewajiban bagi yang berhak. Simak dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama, dan solusi agar harta tetap bersih dan membawa keberkahan.
Dalam Islam, harta bukanlah milik mutlak manusia. Kekayaan hanyalah amanah dari Allah yang harus dikelola dengan bijak, termasuk dengan menunaikan zakat. Zakat bukan sekadar kewajiban formalitas, melainkan sarana spiritual dan sosial yang membawa keberkahan bagi harta, diri, dan masyarakat. Namun, banyak orang menunda atau bahkan menahan zakat, baik karena alasan duniawi maupun kesibukan. Padahal, menahan zakat ketika harta telah mencapai nisab dapat mengubah keberkahan menjadi dosa.
Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul (sudah cukup satu tahun). Nisab adalah batas minimal harta yang wajib dizakati, yang dihitung dari emas atau perak, tergantung jenis harta.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat adalah sarana pembersihan harta dan diri. Menahan zakat berarti menolak perintah Allah, sehingga harta yang dimiliki tidak lagi membawa keberkahan, bahkan bisa menjadi sumber dosa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang memiliki harta yang telah mencapai nisab tetapi tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat akan dibentangkan hartanya dalam bentuk ular yang melingkar di lehernya, dan ia akan dipukul dengan ular itu di neraka.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi menunda atau menahan zakat. Keberkahan harta dapat hilang, digantikan dengan azab karena ketidaktaatan.

Para ulama menekankan bahwa menunaikan zakat tepat waktu adalah bagian dari iman dan ketaatan. Beberapa pendapat penting antara lain:
Imam Nawawi menekankan bahwa menunda zakat tanpa alasan syar’i termasuk dosa besar karena mengingkari perintah Allah.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa zakat adalah hak Allah atas harta, sehingga menahannya sama dengan menguasai hak Allah sendiri.
Al-Syaukani menekankan pentingnya memprioritaskan kewajiban zakat sebelum membelanjakan harta untuk kebutuhan lain yang tidak mendesak.
Kesemuanya menegaskan bahwa menahan zakat bukan sekadar masalah finansial, tetapi pelanggaran spiritual yang bisa merusak keberkahan harta dan kehidupan seorang Muslim.
Dalam Islam, kewajiban membersihkan harta tidak hanya berlaku untuk uang tunai, tetapi juga berbagai jenis kekayaan yang memiliki nilai dan telah mencapai nisab. Berikut penjelasannya:
yang dizakati: Emas, perak, perhiasan, dan logam mulia lainnya.
Nisab:
Emas: 85 gram
Perak: 595 gram
Ukuran: 2,5% dari total harta yang dimiliki setelah haul (satu tahun penuh).
Contoh: Jika seseorang memiliki emas 100 gram, hak yang harus dikeluarkan = 100 × 2,5% = 2,5 gram emas.
yang dizakati: Uang tunai, tabungan, deposito, investasi, dan harta lain yang bisa dihitung dengan nilai uang.
Nisab: Sama dengan emas, yaitu setara 85 gram emas.
Ukuran: 2,5% dari total uang setelah mencapai nisab dan haul.
Contoh: Jika tabungan Rp50 juta setara dengan 100 gram emas, maka hak yang dikeluarkan = Rp50 juta × 2,5% = Rp1,25 juta.
yang dizakati: Barang dagangan, stok usaha, modal usaha, dan keuntungan dari perdagangan.
Nisab: Sama dengan emas (85 gram emas).
Ukuran: 2,5% dari total aset usaha dan keuntungan setelah haul.
Catatan: Nilai dagangan dihitung saat haul, termasuk piutang yang pasti diterima.
yang dizakati: Hasil panen, buah-buahan, dan hasil pertanian lainnya.
Nisab: 653 kg hasil panen (setara 5 wasaq).
Ukuran:
5% jika menggunakan irigasi modern atau biaya pengairan.
10% jika panen tanpa biaya pengairan (hanya mengandalkan hujan).
yang dizakati: Sapi, kambing, unta, dan hewan ternak lainnya.
Nisab dan ukuran:
Sapi:
30–39 ekor → 1 ekor sapi muda
40–59 ekor → 2 ekor sapi muda
Kambing/Domba:
40–120 ekor → 1 ekor kambing/domba
121–200 ekor → 2 ekor kambing/domba
Unta:
5–9 ekor → 1 ekor unta
10–14 ekor → 2 ekor unta
Semua hewan ternak dibersihkan haknya saat cukup umur dan layak dikurbankan.

yang dizakati: Barang temuan, emas dan perak dalam bentuk tidak biasa, saham, dan aset lainnya yang memiliki nilai jual.
Nisab: Setara emas 85 gram.
Ukuran: 2,5% dari nilai total harta setelah haul.
Haul (satu tahun kepemilikan) harus dipenuhi sebelum hak zakat dikeluarkan, kecuali pertanian dan hewan ternak yang dikeluarkan saat panen atau hewan mencapai umur tertentu.
Nisab harus dicapai agar harta wajib dibersihkan. Jika belum, kewajiban ini tidak muncul.
Distribusi dianjurkan melalui lembaga resmi atau langsung ke mustahik agar hak tersebut sampai tepat sasaran.
Menunda hak yang wajib diberikan tidak hanya berdampak secara spiritual, tetapi juga sosial:
Hilangnya keberkahan harta – bila tidak dibersihkan cenderung membuat pemiliknya boros, pelit, dan tidak ridha.
Menimbulkan dosa pribadi – Menahan kewajiban ini termasuk pelanggaran perintah Allah dan dapat menjadi dosa besar.
Mengurangi kepedulian sosial – yang seharusnya dapat membantu mustahik (fakir, miskin, dhuafa) tidak tersalurkan.
Mengurangi barokah dalam hidup – Pemilik yang menunda kewajiban ini cenderung merasa kekayaannya stagnan, tidak bertambah berkahnya, dan kadang menimbulkan masalah finansial lain.
Hitung Kekayaan dan nisab dengan tepat
Pastikan setiap kekayaan yang dimiliki telah dihitung secara benar. Nisab zakat emas adalah 85 gram emas, dan nisab perak adalah 595 gram. Untuk uang atau harta lain, konversi nilai ke emas atau perak.
Buat jadwal zakat rutin
Jangan menunggu akhir tahun atau saat jumlah harta besar. Membuat jadwal bulanan atau tahunan untuk zakat memudahkan konsistensi dan disiplin.
Gunakan lembaga terpercaya
Menyalurkan zakat melalui lembaga resmi seperti BAZNAS atau LAZ mempermudah perhitungan, distribusi, dan memastikan zakat sampai ke mustahik dengan amanah.
Perbanyak niat ikhlas
Menunaikan zakat bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana pembersihan hati dan harta. Niatkan zakat untuk mencari ridha Allah semata.
Edukasi keluarga dan lingkungan
Ajak anggota keluarga untuk menunaikan zakat dan pahami pentingnya zakat. Ini akan membentuk kesadaran kolektif tentang keberkahan dan tanggung jawab sosial.
Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang pedagang kaya bernama Ahmad. Ia dikenal cerdas dalam berdagang dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup banyak. Namun, ada satu kebiasaan yang sering ia lakukan: menunda kewajiban bersedekah. Ahmad selalu berkata, “Nanti dulu, biar kekayaan ini bertambah dulu, baru aku keluarkan bagian yang seharusnya bagi yang membutuhkan.”
Setahun berlalu, tetapi alih-alih bertambah, semua yang dimilikinya stagnan. Beberapa proyek usahanya gagal, perselisihan dengan mitra bisnis makin sering terjadi, dan hati Ahmad mulai terasa gelisah. Ia merasa ada yang hilang dari hidupnya, walau secara materi ia cukup.
Suatu hari, seorang teman mengingatkannya: “Kekayaan yang tidak dibersihkan dari hak orang lain tidak akan diberkahi, Ahmad. Coba keluarkan bagian yang seharusnya sekarang, dan lihat perubahan yang terjadi.”
Awalnya Ahmad ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk menunaikan kewajibannya dengan tulus. Hari itu, ia menyalurkan sebagian dari apa yang dimilikinya untuk membantu fakir, miskin, dan anak yatim. Yang mengejutkan, tak lama setelah itu, usahanya mulai membaik. Proyek-proyeknya lancar, mitra bisnis menjadi lebih kooperatif, dan keuntungan bertambah. Tidak hanya itu, hubungan sosialnya dengan tetangga dan kerabat pun harmonis, dan hati Ahmad terasa damai serta penuh syukur.
Ahmad sadar, menunaikan kewajiban ini bukanlah beban atau kewajiban yang memberatkan, melainkan kunci keberkahan hidup. Apa yang ia tunda sebelumnya ternyata justru menghalangi semua yang dimilikinya untuk benar-benar diberkahi.
Kisah Ahmad mengajarkan kita bahwa menunda perintah Allah terkait hak orang lain bukan hanya merugikan diri sendiri secara spiritual, tetapi juga menghambat keberkahan dalam usaha dan hubungan sosial. Membersihkan kekayaan dengan cara yang benar menjadikan hidup lebih berkah, tenang, dan harmonis.
Kekayaan menjadi sumber keberkahan
Menunda kewajiban dapat membuat apa yang dimiliki stagnan atau bahkan merugi. Menunaikannya membersihkan harta dan membuka pintu rezeki dari Allah.
Ketaatan membawa ketenangan hati
Ahmad merasakan gelisah ketika menunda kewajiban ini. Ketika dilaksanakan, hati menjadi damai dan tenang.
Memperkuat hubungan sosial
Menyalurkan hak orang lain membuat Ahmad lebih dekat dengan masyarakat. Apa yang diberikan mengalir ke yang membutuhkan, sehingga menumbuhkan silaturahmi, empati, dan keharmonisan sosial.
Menunda perintah bisa membawa kerugian
Kisah ini mengajarkan bahwa menunda perintah Allah, meski dengan alasan duniawi, dapat menimbulkan kerugian, baik materi maupun spiritual.
Meningkatkan rasa syukur dan rendah hati
Dengan menunaikan hak orang lain dari kekayaan yang dimiliki, seseorang menyadari bahwa semuanya hanyalah amanah. Hal ini menumbuhkan sikap syukur, rendah hati, dan kepedulian terhadap sesama.
Keberkahan tidak hanya diukur materi
Setelah menunaikannya, Ahmad tidak hanya mendapatkan keuntungan finansial, tetapi juga ketenangan batin, hubungan harmonis, dan keberkahan hidup secara menyeluruh.
Menahan zakat ketika harta telah mencapai nisab bukan hanya mengurangi keberkahan, tetapi juga bisa berubah menjadi dosa besar. Allah dan Rasul-Nya menegaskan kewajiban zakat, serta memberi peringatan bagi yang menunda. Solusi terbaik adalah menunaikan zakat tepat waktu, menghitung nisab dengan benar, menggunakan lembaga resmi, dan menjaga niat ikhlas. Dengan zakat, harta menjadi bersih, hati lebih tenang, dan masyarakat semakin sejahtera.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan untuk dirimu, niscaya kamu akan mendapatinya di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 110)
Ini merupakan bentuk kepedulian sosial sekaligus kunci keberkahan hidup. Jangan biarkan harta yang dicapai dengan kerja keras justru menjadi sumber dosa karena menunda kewajiban. Tepat waktu menunaikan zakat adalah bentuk taat, bersih hati, dan meraih ridha Allah.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.
Yuk, berinfak dan menjadi muzaki cerdas melalui BAZNAS Kota Sukabumi.
Infak Anda akan menjadi ladang amal yang terus mengalir, meski Anda sedang tidur, bekerja, atau beribadah.
Di tangan lembaga yang amanah, yang Anda keluarkan tak hanya menjadi angka—ia menjadi doa, manfaat, dan kehidupan baru.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai bahaya menahan zakat melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Jangan Tahan Zakatmu: Ketika Keberkahan Berubah Menjadi Dosa Karena Harta Telah Mencapai Nisab
