Artikel islami inspiratif tentang makna melepaskan dibanding mempertahankan. Membahas alasan spiritual dan psikologis mengapa melepaskan bisa lebih menenangkan, lengkap dengan dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama, ikhtiar seperti shalat istikharah, motivasi, contoh kisah nyata, dan saran konkret. Cocok untuk pembaca yang sedang galau mengambil keputusan penting.
Dalam perjalanan hidup, kita tidak selalu dihadapkan pada pilihan yang mudah. Ada masa ketika kita sudah berusaha, berdoa, dan bertahan sekuat tenaga, tetapi tetap saja hati terasa sesak. Di sinilah kita mulai belajar bahwa tidak semua hal harus dipertahankan. Terkadang, justru dengan melepaskan, hati menemukan ruang baru untuk pulih dan kembali tenang.
Melepas bukan berarti menyerah. Melepaskan adalah bentuk kedewasaan, ketika kita memilih sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keinginan: yaitu ketenangan jiwa, kesehatan hati, dan kedekatan dengan Allah. Karena apa gunanya mempertahankan sesuatu yang membuat hidup kita semakin jauh dari bahagia?
Allah mengingatkan:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Kita sering mengira bahwa sesuatu adalah yang terbaik untuk kita—entah itu seseorang, pekerjaan, lingkungan, atau mimpi tertentu. Kita memaksakan diri untuk tetap menggenggamnya. Namun bisa jadi, Allah sedang menjauhkan kita dari sesuatu yang tidak membawa kebaikan dalam jangka panjang.
Ada perbedaan besar antara berjuang dan memaksakan diri. Berjuang itu sehat, memaksakan diri itu melelahkan. Ketika yang kita pertahankan tidak berbalik menjadi kebaikan—hanya membuat kita terpuruk, kehilangan harga diri, atau terus merasa salah—maka melepaskan bisa menjadi pintu ketenangan.
Ibnul Qayyim berkata:
“Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan usaha yang layak.”
Ketika kita tak sanggup lagi menggenggam sesuatu, lalu kita serahkan keputusan itu kepada Allah, saat itulah hati kita mulai ringan. Ada rasa yakin bahwa apa pun yang Allah pilihkan, itulah yang terbaik.

Dalam Islam, kita tidak dibiarkan berjalan tanpa arah. Ada beberapa cara yang diajarkan agar langkah kita mantap.
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian berniat melakukan suatu urusan, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat kemudian berdoa istikharah…”
(HR. Bukhari)
Istikharah bukan berarti menunggu mimpi tertentu. Tanda istikharah lebih sering berupa:
hati yang menjadi lebih tenang terhadap salah satu pilihan,
jalan yang dimudahkan Allah,
atau justru terhalangnya pilihan yang tidak baik.
Allah berfirman:
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
(QS. Ali Imran: 159)
Orang yang bijak bisa membantu kita melihat kondisi dari sisi yang berbeda. Kadang, sesuatu yang membuat kita buta karena emosi, bisa terlihat jelas oleh orang yang lebih objektif.
Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Berpikirlah panjang karena akibat suatu keputusan akan menyertaimu sepanjang hidupmu.”
Tanyakan pada diri:
Jika aku bertahan, apakah aku akan berkembang atau justru hancur perlahan?
Jika aku melepaskan, apakah aku membuka ruang untuk hal yang lebih sehat?
Ulama menjelaskan:
“Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih.”
(Mencegah kerusakan lebih penting daripada meraih manfaat.)
Jika sesuatu lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat, maka melepaskannya adalah bentuk perlindungan terhadap diri sendiri.
Kadang kita mempertahankan sesuatu bukan karena memang baik, tetapi karena:
gengsi,
takut dianggap gagal,
tidak mau sendirian,
atau terlalu bergantung pada manusia.
Padahal hati yang sehat adalah hati yang hanya bergantung pada Allah, bukan pada apa pun yang sifatnya sementara.
Namanya Dina (nama samaran). Ia mencintai pekerjaannya sebagai staf di sebuah perusahaan besar. Namun, lingkungannya toxic: atasannya sering meremehkan, rekan kerja sering membebankan pekerjaan, dan setiap hari ia pulang dengan lelah fisik dan mental.
Ia bertahan selama empat tahun, dengan alasan “sayang kalau pergi”. Namun badan mulai menunjukkan tanda: sering pusing, gelisah, sulit tidur, dan mudah menangis.
Suatu hari, ia melakukan shalat istikharah. Hatinya terasa ringan untuk mulai mencari pekerjaan baru. Meski semula ditolak di banyak tempat, ia terus berdoa dan berusaha.
Beberapa minggu kemudian, ia diterima di perusahaan lain dengan lingkungan lebih sehat, rekan kerja yang saling mendukung, dan atasan yang menghargai.
Dina berkata:
“Aku menyesal bukan karena pergi. Aku menyesal karena terlalu lama bertahan di tempat yang merusak hatiku. Setelah melepaskan, aku merasakan hidupku kembali.”
Dari kisah ini, kita belajar bahwa melepaskan tidak selalu kehilangan. Kadang, melepaskan justru menyelamatkan diri kita.

Kamu berhak tenang. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak hidup tanpa tekanan yang merusak.
Jangan pertahankan sesuatu hanya karena takut sendirian. Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Allah berjanji:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)
Hal-hal hebat sering datang setelah kita berani melepaskan hal-hal yang tidak lagi sehat.
Lakukan istikharah setiap kali ragu. Ini bukan ritual langka, tapi sarana memohon bimbingan.
Tulis apa yang kamu rasakan selama mempertahankan sesuatu. Lihat apakah lebih banyak luka daripada bahagia.
Berikan batas untuk dirimu. Tidak semua harus ditoleransi.
Jangan terikat pada pendapat orang. Mereka tidak menjalani hidupmu.
Jaga kesehatan mental. Jika suatu hubungan, pekerjaan, atau lingkungan membuatmu rusak, itu tanda kuat bahwa melepaskan mungkin lebih baik.
Percaya pada rencana Allah. Apa yang hilang darimu bukan benar-benar hilang. Allah hanya menggantinya dengan sesuatu yang lebih cocok untuk masa depanmu.
Melepaskan sering kali terasa berat, tetapi dalam banyak keadaan, justru di sanalah letak ketenangan yang sebenarnya. Tidak semua yang kita pertahankan akan membawa kebaikan, dan tidak semua yang kita lepas akan membawa kerugian. Dalam Islam, kita diajarkan untuk berikhtiar secara benar—melalui shalat istikharah, musyawarah, menimbang dampak jangka panjang, dan menghindari hal yang membawa mudarat. Setelah berusaha, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh tawakkal.
Jika sesuatu terus melelahkan, menjauhkan kita dari ketenangan, atau lebih banyak membawa kerusakan daripada kebaikan, maka melepaskan adalah keputusan yang bijak. Allah tidak pernah mengambil sesuatu kecuali Dia menyiapkan penggantinya yang lebih baik. Karena itu, beranilah memilih apa yang membuat hati lebih sehat, hidup lebih tenang, dan iman lebih kuat.
Pada akhirnya, melepaskan bukan tentang kehilangan, tetapi tentang memberi ruang bagi diri agar tumbuh. Dan bagi siapa pun yang memilih jalan ini, ingatlah: ketenangan adalah hadiah bagi mereka yang percaya bahwa rencana Allah jauh lebih indah daripada rencana manusia.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.
Yuk, berinfak dan menjadi muzaki cerdas melalui BAZNAS Kota Sukabumi.
Infak Anda akan menjadi ladang amal yang terus mengalir, meski Anda sedang tidur, bekerja, atau beribadah.
Di tangan lembaga yang amanah, yang Anda keluarkan tak hanya menjadi angka—ia menjadi doa, manfaat, dan kehidupan baru.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai menentukan pilihan dalam hidup melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Kadang Melepas Lebih Menenangkan daripada Mempertahankan
