Artikel lengkap tentang dilema antara kejujuran dan menjaga perasaan menurut Islam, disertai dalil Al-Qur’an, hadits, kaidah fikih, dan pandangan ulama.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui situasi di mana kita harus memilih antara berkata jujur atau menjaga perasaan seseorang. Dua nilai ini sangat mulia dalam Islam: kejujuran (ṣidq) adalah akhlak para nabi, sementara menjaga hati (hifzh al-khawāṭir) adalah bagian dari adab sosial yang sangat dijunjung. Namun ketika keduanya bertemu dalam sebuah dilema, manakah yang harus diprioritaskan?
Untuk menjawabnya, ulama menegaskan bahwa tidak ada jawaban yang kaku. Islam memandang niat, konteks, maslahat, dan dampak dari setiap perkataan. Kejujuran tetap prinsip utama, namun cara dan situasi harus dipertimbangkan dengan hikmah.

Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
(QS. Al-Ahzab: 70)
Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran adalah standar utama dalam ucapan seorang muslim. Namun, Al-Qur’an juga mengajarkan ucapan disampaikan dengan baik agar menjaga perasaan orang yang menerima ucapan kita:
“Dan ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.”
(QS. Al-Baqarah: 83)
Hadits Nabi ﷺ juga menegaskan:
“Sesungguhnya kejujuran menunjuki kepada kebaikan, dan kebaikan menunjuki ke surga…”
(HR. Bukhari & Muslim)
Namun, dalam waktu yang sama Nabi ﷺ bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa kejujuran tidak harus disampaikan dengan cara yang menyakiti—bahkan kadang diam lebih baik daripada ucapan benar yang menimbulkan mudharat.
Para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa kejujuran adalah kewajiban, namun menjaga perasaan memiliki kedudukan mulia selama tidak mengandung dusta yang merugikan.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa ucapan harus dipertimbangkan dari sisi manfaat dan mudharat. Ia menegaskan bahwa “tidak setiap kebenaran harus diungkapkan,” terutama bila menimbulkan permusuhan, fitnah, atau luka hati tanpa manfaat jelas.
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengutip hadits “berkata baik atau diam,” dan beliau menegaskan bahwa diam bisa lebih utama bila ucapan benar tidak membawa maslahat. Namun jika ucapan benar itu mencegah kemungkaran, maka menyampaikannya menjadi wajib.
Ibn Taymiyyah menjelaskan: “Ucapan benar yang menyebabkan kezhaliman lebih besar tidak boleh diucapkan.” Prinsipnya adalah menolak mudharat lebih diutamakan daripada menarik manfaat.
Kaidah penting yang relevan adalah:
La darar wa la dirar — tidak boleh menimbulkan bahaya kepada orang lain atau diri sendiri.
Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih — mencegah kerusakan lebih utama dibanding mendatangkan kebaikan.
Keduanya memberi petunjuk bahwa kejujuran harus menghindari dampak buruk yang tidak perlu.
Dalam persoalan keuangan, kesaksian, pernikahan, amanah pekerjaan, atau urusan publik, kejujuran wajib disampaikan meski pahit.
Misalnya: melihat kecurangan, penipuan, atau perbuatan maksiat yang merusak. Dalam konteks ini, diam atau menjaga perasaan justru bisa menjadi dosa.
Jika tujuan ucapan adalah perbaikan (islah), maka ia termasuk nasehat. Cara penyampaiannya harus lembut, namun isinya tetap jujur.
Contoh: kritik terhadap fisik, kesalahan kecil tanpa dampak hukum, atau mengungkap hal yang tidak wajib diketahui.
Jika kejujuran dapat memicu konflik besar yang tidak memberikan maslahat, menahan diri lebih utama.
Mengungkap aib seseorang tanpa kebutuhan syar’i termasuk ghibah yang jelas dilarang, maka lebih baik tidak diungkapkan demi menjaga perasaan.
Ada beberapa bentuk “white lie” yang dibolehkan dalam Islam, seperti membahagiakan pasangan, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang tiga kondisi yang dibolehkan berkata tidak sepenuhnya apa adanya: dalam perang, mendamaikan, dan suami-istri (HR. Muslim).

Islam tidak hanya memerintahkan berkata benar, tetapi juga mengajarkan seni berbicara. Berikut prinsip yang diajarkan para ulama dan akhlak Nabi ﷺ:
Kebenaran yang disampaikan saat seseorang sedang marah atau sedih dapat menjadi bumerang.
Allah memerintahkan Nabi Musa & Harun untuk berkata lembut kepada Fir’aun (QS. Thaha: 44), padahal ia adalah penguasa yang paling zalim. Jika kepada Fir’aun saja demikian, apalagi kepada sesama muslim.
Alih-alih berkata: “Kamu ceroboh,” lebih baik: “Sepertinya kita bisa lebih hati-hati lagi di bagian ini.”
Niat akan mempengaruhi nada bicara dan pilihan kata.
Nasehat di hadapan umum bisa terasa seperti penghinaan.
Kejujuran tetap berada pada posisi utama dalam Islam, namun cara dan waktu penyampaiannya harus memperhatikan adab dan maslahat. Islam mengajarkan keseimbangan: jujur namun lembut, benar namun bijaksana, tegas namun penuh kasih.
Jika kejujuran membawa kebaikan, tegakkanlah.
Jika kejujuran hanya menambah luka tanpa manfaat, tahanlah.
Di antara dua nilai mulia ini, Islam memilih hikmah—mengambil jalan terbaik sesuai kondisi.
Kamu dapat menyalurkan fidyah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi , yang menyalurkan fidyah, zakat, dan infak dengan amanah dan tepat sasaran. Semoga dengan menunaikan fidyah dengan benar, ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadi jalan menuju keberkahan, ampunan, serta ridha-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai menjaga perasaan atau kejujuran melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Antara Menjaga Perasaan Orang Lain atau Kejujuran: Mana Yang Harus Di Dahulukan?
