Redenominasi rupiah: apakah pengurangan nol memengaruhi perhitungan zakat? Ulasan lengkap dalil, pendapat ulama, pro-kontra, dan panduan menghitung zakat.
Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi rupiah, yaitu penyederhanaan angka dengan menghilangkan beberapa digit nol (misalnya Rp1.000 menjadi Rp1), menimbulkan banyak diskusi dalam masyarakat. Salah satu yang paling sering ditanyakan adalah:
“Apakah redenominasi memengaruhi kewajiban zakat?”
Karena zakat sangat berkaitan dengan angka nominal, nisab, dan haul, perubahan tampilan mata uang memang dapat menimbulkan keraguan. Namun dalam fikih muamalah, nilai harta tidak diukur dari angka yang tertulis, melainkan dari nilai riil sebuah mata uang. Artikel ini membahas dasar syariah, pandangan ulama klasik dan modern, serta pro-kontra redenominasi terhadap zakat secara lengkap.
Beberapa dalil dasar kewajiban zakat antara lain:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…” (QS. Al-Baqarah:110).
QS. At-Taubah:60 menjelaskan delapan kelompok mustahik (penerima zakat).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa zakat adalah kewajiban syar’i atas harta tertentu yang mencapai nisab dan haul.
Hadis tentang lima rukun Islam (HR. Bukhari-Muslim) yang menempatkan zakat sebagai pilar wajib.
Hadis tentang nisab emas: “Tidak ada zakat pada emas hingga mencapai dua puluh dinar…” (HR. Abu Dawud).
Dalam semua dalil tersebut, fokusnya adalah nilai harta, bukan bentuk fisik atau satuan mata uang.
Pada masa ulama klasik seperti Imam Nawawi, Imam Malik, Ibn Qudamah, mata uang yang digunakan adalah dinar (emas) dan dirham (perak). Ketika negara menurunkan kadar emas atau perak atau menggunakan mata uang tembaga, ulama menjelaskan bahwa:
“Yang dinilai dalam zakat adalah qimah (nilai riil), bukan rupa atau angka mata uang.”
Prinsip ushul fikih yang digunakan ialah:
Al-‘ibrah bi al-ma‘ani la bi al-alfazh – yang dinilai adalah makna, bukan bentuk.
Al-zakah tata‘allaq bi al-qimah – kewajiban zakat terkait nilai harta.
Ini menunjukkan bahwa perubahan tampilan atau satuan tidak membatalkan zakat.
Lembaga seperti Majma’ Fiqh Islami, Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, dan pakar fikih ekonomi seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Syekh Yusuf Al-Qaradawi, dan Mufti Taqi Usmani menjelaskan:
Redenominasi hanyalah perubahan teknis, bukan perubahan nilai.
Selama daya beli uang sama, maka nisab, haul, dan zakat sama.
Zakat uang tetap merujuk kepada nisab emas 85 gram atau perak, bukan angka mata uang.
Kajian dari BAZNAS, DSN-MUI, dan berbagai pakar ekonomi syariah di Indonesia menyatakan:
Redenominasi tidak membatalkan zakat.
Perlu dibuat pedoman konversi agar masyarakat tidak keliru.
Perhitungan zakat setelah redenominasi sebaiknya langsung dikaitkan dengan harga emas harian.

Nilai riil tetap sama
Secara ekonomi, redenominasi tidak mengubah kekayaan seseorang. Jika sebelum redenominasi seseorang memiliki Rp10.000.000, dan setelah penyederhanaan menjadi Rp10.000 (unit baru), maka nilai dayanya tetap sama. Maka kewajiban zakat tetap 2,5% dari nilai yang setara.
Nisab menggunakan standar emas
Nisab zakat uang selalu dihitung berdasarkan harga emas 85 gram. Karena emas tidak terpengaruh redenominasi, maka zakat tetap dapat dihitung dengan mudah.
Kaidah fikih konsisten
“Al-hukmu yaduru ma‘a ‘illatihi” – hukum mengikuti sebabnya. Sebab kewajiban zakat adalah kepemilikan harta yang bernilai nisab, bukan angka nol di mata uang.
Contoh negara lain
Turki, Irak, Sudan, Zimbabwe, dan beberapa negara lain pernah redenominasi. Lembaga zakat mereka tetap menggunakan nisab emas dan tidak ada perubahan hukum zakat.
Mempermudah sistem pembukuan
Dengan nominal lebih pendek, transaksi keuangan lebih ringkas sehingga pencatatan zakat lebih rapih.
Miskonsepsi bahwa harta ‘mengecil’
Ketika angka berkurang nolnya, masyarakat bisa merasa lebih miskin dan mengira dirinya tidak mencapai nisab, padahal nilai sebenarnya tetap sama.
Potensi salah konversi
Jika konversi misalnya 1 rupiah baru = 1.000 rupiah lama, maka nisab emas yang sebelumnya Rp80.000.000 menjadi Rp80.000 dalam rupiah baru.
Jika seseorang tidak memahami ini, ia dapat keliru menghitung kewajiban zakatnya.
Kebingungan pada masa transisi
Dokumen keuangan, laporan pembukuan usaha, donasi masjid, hingga catatan hutang-piutang dapat mengalami masa penyesuaian sehingga perlu kehati-hatian saat menghitung zakat.
Inflasi pasca-redenominasi
Meskipun redenominasi tidak berhubungan langsung dengan inflasi, beberapa negara mengalami inflasi pada periode setelahnya. Jika terjadi inflasi, nisab uang berubah karena harga emas ikut berubah.
Kurangnya panduan resmi
Tanpa pedoman khusus dari pemerintah atau lembaga zakat, masyarakat bisa membuat interpretasi masing-masing sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat.
Gunakan nisab emas sebagai standar (85 gram).
Ikuti konversi resmi rupiah baru.
Selalu cek harga emas saat waktu bayar zakat.
Konsultasikan dengan amil zakat atau ahli fikih setempat.
Catat nilai harta sebelum dan sesudah redenominasi agar tidak salah hitung.

Secara syariah, redenominasi tidak memengaruhi kewajiban zakat, karena zakat dihitung berdasarkan nilai riil harta, bukan angka nominal rupiah. Para ulama, baik klasik maupun kontemporer, sepakat bahwa perubahan satuan mata uang tidak menghapus atau mengurangi kewajiban zakat.
Perubahan teknis seperti pengurangan nol hanya menuntut masyarakat untuk memahami konversi dan tetap merujuk pada nisab emas sebagai standar. Dengan panduan yang jelas, umat Islam tetap dapat menunaikan zakat dengan benar meskipun sistem mata uang mengalami perubahan.
Kamu dapat menyalurkan fidyah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi , yang menyalurkan fidyah, zakat, dan infak dengan amanah dan tepat sasaran. Semoga dengan menunaikan fidyah dengan benar, ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadi jalan menuju keberkahan, ampunan, serta ridha-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai mengaruh redenominasi rupiah pada proses perhitungan zakat nanti dalam syariat islam melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Redenominasi Rupiah: Apakah Pengurangan Nol pada Mata Uang Mempengaruhi Perhitungan Zakat?
