Artikel Islami yang membahas bahaya sedekah demi formalitas. Dijelaskan pengertian sedekah, contoh sedekah yang baik, 5 dosa besar yang menghancurkan pahala sedekah, dalil Al-Qur’an, hadis, pandangan ulama, serta solusi agar sedekah diterima Allah.
Sedekah adalah salah satu amalan paling mulia yang menghubungkan hamba dengan Allah dan manusia. Sedekah tidak terbatas pada harta, ia mencakup senyum, membantu orang lain, menuntun orang buta, menyingkirkan bahaya dari jalan, hingga sekadar memberikan nasihat yang baik.
📖 Allah berfirman:
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
(QS. Ali Imran: 92)
Ayat ini mengajarkan satu prinsip penting: sedekah memiliki nilai besar ketika sesuatu itu dicintai — bukan sisa, bukan yang tidak dipakai, bukan yang kita anggap remeh. Sedekah bukan memberi karena terpaksa, tetapi karena cinta kepada Allah dan sesama.
Dalam hadis disebutkan:
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, sedekah tidak hanya material, tapi sikap, tutur, dan tindakan positif juga bernilai ibadah.

“Sedekah menghapus dosa seperti air memadamkan api.”
Tetapi beliau juga menegaskan bahwa tanpa keikhlasan itu hanyalah gerakan tubuh, bukan ibadah hati.
“Amal itu sesuai tujuannya. Jika engkau mencari dunia melalui amalmu, engkau mendapat dunia. Jika engkau mencari akhirat, engkau mendapat akhirat.”
Dalam Ihya’ Ulumuddin, beliau menjelaskan bahwa riya adalah ketika seseorang menjadikan manusia sebagai tujuan dalam beramal, bukan Allah.
Itulah sebabnya sedekah demi gengsi adalah penyakit spiritual.
Nilai sebuah amal bukan dilihat dari besarnya nominal yang diberikan, melainkan dari niat yang mendasarinya, cara penyampaian, serta manfaat yang ditimbulkan. Para ulama menyebut beberapa ciri utama yang menunjukkan bahwa pemberian seseorang telah sesuai tuntunan syariat.
Ikhlas adalah fondasi pertama. Memberi yang benar adalah yang murni untuk Allah semata, bukan untuk sorotan kamera, pengakuan sosial, atau tepuk tangan manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya amal yang disertai niat yang tulus yang diterima Allah. Jika tujuan yang dicari adalah pujian dan status, maka manusia-lah yang menjadi balasannya, bukan pahala akhirat.
Islam sangat menekankan kehormatan orang yang menerima bantuan. Memberi namun kemudian mengungkit-ungkitnya, merendahkan penerima, atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan justru merusak nilai ibadah.
📖 Allah berfirman:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai menyakiti (perasaan).”
(QS. Al-Baqarah: 263)
Ayat ini mengajarkan bahwa nilai moral lebih tinggi daripada sekadar nominal. Memberi sedikit dengan adab lebih mulia daripada banyak namun merendahkan.
Halal tidak hanya terkait besar kecilnya, tetapi berasal dari usaha yang bersih. Harta yang diperoleh dari korupsi, penipuan, riba, atau perniagaan haram tidak membawa nilai ibadah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
(HR. Muslim)
Karenanya, memberi dari yang halal menunjukkan penghormatan kepada Allah dan penerima, serta bukti kerendahan hati.
Memberi yang baik bukan sekadar “transfer” tanpa arah, tetapi yang membantu orang bangkit dari kesulitan. Ulama menyebut bahwa pemberian yang mengangkat beban hidup seseorang lebih utama daripada pemberian simbolik.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa yang paling utama adalah bantuan yang ditujukan kepada kebutuhan paling mendesak, seperti orang yang lapar, terlilit hutang, sakit, atau mereka yang miskin tanpa daya.
Pemberian yang tepat sasaran membuat manfaatnya berlipat:
satu bantuan hari ini bisa mengubah masa depan seseorang.
Di era modern, banyak orang memberi bukan karena iman, tetapi karena citra sosial: sekadar tampil baik di hadapan publik, demi konten media, menjaga reputasi jabatan, hingga agar dianggap “orang dermawan”.
Padahal, pemberian seperti ini tidak bernilai ibadah di sisi Allah.
Islam mengingatkan bahwa suatu amal bisa saja tampak mulia di mata manusia, tetapi buruk di sisi-Nya bila niatnya menyimpang atau dilakukan dengan cara yang mencederai syariat.

Riya adalah penyakit spiritual yang membuat ibadah kehilangan nilainya. Tujuan orang yang riya bukan mencari ridha Allah, melainkan mencari pengakuan manusia.
📖 Allah berfirman:
“Maka celakalah orang-orang yang shalat… yang berbuat riya.”
(QS. Al-Ma’un: 4–6)
Bayangkan, shalat yang merupakan ibadah paling agung saja bisa hilang nilainya karena riya. Apalagi memberi bantuan demi foto, konten, atau impresi sosial.
Nabi ﷺ bersabda:
“Syirik kecil itu adalah riya.”
(HR. Ahmad)
Syirik kecil berarti seseorang membagi tujuan amalnya: setengah untuk Allah, setengah untuk manusia. Tindakan seperti ini bukan ibadah, hanya ajang membangun citra diri.
Sebagian orang memberi tetapi kemudian merendahkan penerima:
“Makanya kerja yang benar”
“Kamu miskin karena malas”
“Jangan lupa ya, saya yang bantu kamu!”
Perilaku seperti ini menghancurkan pahala.
📖 Allah berfirman:
“Janganlah kamu membatalkan pemberianmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Ibnu Katsir menafsirkan: menyinggung penerima sama seperti hujan deras yang menghanyutkan tanah tandus—tidak ada yang tersisa.
Bantuan yang benar ialah yang menjaga kehormatan penerima. Memberi sambil menghina bukan ibadah, tetapi kekejian yang dibungkus kebaikan palsu.
Fenomena modern: membawa kamera ketika membantu orang miskin, memperlihatkan wajah mereka menangis, lalu dipublikasikan demi views—ini bentuk riya publik.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:
Menampakkan amal boleh jika tujuan utamanya adalah mengajarkan atau memotivasi orang lain, bukan mencari ketenaran.
Jika tujuannya branding dan popularitas, amal berubah menjadi komoditas dunia.
Nabi ﷺ juga mengingatkan:
“Barang siapa memberi lalu menyebut-nyebutnya, maka ia tidak memiliki pahala.”
(HR. Al-Baihaqi)
Menayangkan penderitaan orang lain hanyalah eksploitasi rasa iba untuk kepentingan personal. Di sisi Islam, menutup aib saudara adalah kemuliaan; mengumbar kelemahan mereka adalah dosa.
Ada yang merasa aman setelah memberi meski hartanya dari korupsi, riba, perjudian, manipulasi bisnis, atau penipuan. Sebagian bahkan menjadikan bantuan sebagai “penebus dosa”.
Padahal kebenarannya justru sebaliknya.
Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
(HR. Muslim)
Ulama seperti Ibn Taymiyyah menegaskan:
Pemberian dari sumber yang haram tidak menghapus dosa. Harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya atau digunakan untuk pembersihan, bukan ibadah ritual.
Memberi dari harta haram bukan amal saleh, tetapi topeng kemunafikan.
Sebagian orang menganggap memberi itu semacam investasi bisnis:
“Kalau aku keluar 100 ribu, Allah pasti balikin 10 juta.”
“Kalau aku bantu orang, bisnisku pasti lancar.”
Pemikiran seperti ini salah arah.
Islam memang menjanjikan pahala, tetapi bukan konsep dagang.
Niat menentukan nilai amal.
“Sesungguhnya amal itu tergantung niat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan: niatlah yang membedakan ibadah dan aktivitas dunia.
Bantuan yang diniatkan karena Allah = pahala.
Bantuan demi untung dunia = sekadar transaksi sosial tanpa nilai spiritual.
Tanyakan:
“Jika tidak ada kamera dan tidak ada yang tahu, apakah aku tetap memberi?”
Jika jawabannya “tidak”, ubahlah niat.
Sedekah diam-diam lebih aman dari riya.
Bahkan Nabi ﷺ menyebutnya sebagai salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di hari kiamat:
“Seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya hingga tangan kirinya tidak mengetahuinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lembaga seperti BAZNAS menghindarkan kita dari sedekah pencitraan, dan memastikan sedekah sampai kepada yang berhak.
Lebih baik sedikit dan halal, daripada banyak tetapi merusak hidup.
Bukan dari manusia, bukan dari komentar netizen.
Sedekah adalah ibadah hati. Ia menjadi mulia ketika dilakukan dengan keikhlasan—tanpa pujian, tanpa kamera, tanpa gengsi. Namun sedekah bisa berbalik menjadi dosa besar jika dilakukan dengan riya, menyakiti penerima, mengejar popularitas, atau berasal dari harta haram. Islam mengajarkan sedekah yang menjaga martabat manusia, murni karena Allah, dan membawa manfaat nyata.
Jagalah niatmu, karena Allah tidak melihat nominal, tapi ketulusan yang kamu bawa dalam memberi.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.
Yuk, berinfak melalui BAZNAS Kota Sukabumi.
Infak Anda akan menjadi ladang amal yang terus mengalir, meski Anda sedang tidur, bekerja, atau beribadah.
Di tangan lembaga yang amanah, yang Anda keluarkan tak hanya menjadi angka—ia menjadi doa, manfaat, dan kehidupan baru.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai bahaya bersedekah hanya untuk formalitas melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Ketika STOP Bersedekah Demi Formalitas! 5 Dosa Besar yang Menghancurkan Amalmu
