Stop jadi muzaki formalitas! Pelajari 4 dosa besar zakat menurut Islam: riya, zalim, salah sasaran, dan merendahkan mustahik. Sertakan dalil dan ulama.
Zakat dalam Islam bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah amanah, ibadah, dan instrumen sosial yang menjaga keseimbangan antara yang memiliki harta dan mereka yang membutuhkan. Namun realitas hari ini menunjukkan banyak Muslim hanya menjadi muzaki formalitas—menunaikan zakat tanpa ruh keimanan, tanpa memahami tujuan, bahkan sekadar memenuhi kewajiban administratif.
Muzaki formalitas adalah seseorang yang mengeluarkan zakat hanya karena faktor kewajiban yang tampak, bukan karena kesadaran spiritual atau kemanfaatan sosial. Ia memberi zakat karena takut dicela, karena target kantor, karena tuntutan komunitas, atau sekadar mengikuti tren program donasi. Muzaki formalitas mengukur zakat dengan hitungan nominal, tetapi lupa bahwa zakat adalah ibadah hati yang menuntut keikhlasan dan pemahaman yang benar.
Berzakat demi pencitraan, bukan karena Allah — contohnya mempublikasikan besaran zakat untuk mendapat pujian. Muzaki formalitas merasa bangga saat dilihat orang, namun lupa bahwa Allah membenci riya.
Menunaikan zakat sebatas menggugurkan kewajiban, bukan menolong mustahik — ia memberi zakat dengan perasaan “yang penting sudah setor”, bukan dengan kepedulian.
Menganggap zakat sebagai biaya operasional sosial, bukan upaya tazkiyah (pensucian) — seolah zakat sama seperti sumbangan event atau donasi korporasi.
Tidak peduli apakah zakat tepat sasaran — muzaki formalitas tidak meneliti siapa penerima zakat; yang penting uangnya berpindah, tanpa memikirkan manfaatnya bagi fakir miskin.
Memberi dengan cara yang merendahkan penerima — baik dengan ucapan, sikap, atau publikasi foto. Muzaki formalitas merasa superior karena “telah menolong orang kecil”.
Islam tidak hanya menuntut zakat diberikan, tetapi juga memperhatikan niat, cara, tujuan, dan dampaknya. Zakat bukan transaksi sosial yang menggeser status seseorang dari “donatur” menjadi “orang baik”—ia adalah instrumen penyucian jiwa yang mengajarkan rendah hati, berbagi, dan mencintai sesama. Ketika seorang muzaki formalitas melakukan zakat tanpa keikhlasan, ia sesungguhnya sedang mengeluarkan harta, tetapi tidak sekaligus membersihkan jiwanya.
Karenanya, seorang muzaki yang salah niat, salah penyaluran, atau menyalahi aturan zakat dapat terjerumus pada dosa-dosa besar yang justru menghilangkan pahala zakatnya. Muzaki formalitas mungkin merasa telah berbuat baik, tetapi di sisi Allah, amalnya bisa menjadi debu yang tidak bernilai. Islam mengingatkan agar zakat bukan sekadar tindakan administratif, melainkan ibadah penuh kesadaran yang mencerminkan akhlak seorang Muslim terhadap Tuhannya dan terhadap manusia.

Riya adalah penyakit ibadah paling halus namun paling berbahaya. Ketika seseorang membayar zakat dengan tujuan dipuji, dihormati, atau dianggap dermawan, ia telah mengorbankan keikhlasan.
Allah memperingatkan dengan tegas:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini menegaskan, riya membatalkan pahala sedekah, termasuk zakat.
Nabi ﷺ juga bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amal untuk dipuji manusia, maka Allah akan memperlihatkan (aibnya) kepada manusia.”
(HR. Muslim)
Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali menyebut riya sebagai syirik kecil, karena manusia menjadikan makhluk sebagai tujuan ibadah, bukan Allah. Beliau menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa riya menghapuskan ruh amalan, sekalipun lahirnya terlihat mulia.
Membayar zakat sambil mengumumkan nominalnya.
Berfoto saat menyerahkan zakat dan menyebarkannya di media sosial untuk pencitraan.
Menjadi donatur hanya jika namanya tertulis di plakat.
Zakat yang seperti ini hanya menghiasi dunia, tetapi menghapus pahala akhirat.
Zalim dalam zakat terjadi ketika seseorang menahan zakat, mengurangi takaran, atau menyalurkannya secara tidak tepat kepada orang yang bukan berhak.
Allah mengancam dengan keras:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34)
Ayat ini turun terkait mereka yang enggan mengeluarkan zakat. Imam Ibn Katsir menafsirkan bahwa “menyimpan emas dan perak” berarti menimbun harta tanpa mengeluarkan zakatnya, bahkan jika harta itu halal didapat.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Harta yang tidak dikeluarkan zakatnya akan menjadi seekor ular botak pada Hari Kiamat yang membelit pemiliknya.”
(HR. Bukhari)
Menunaikan zakat kurang dari nisab atau tanpa mencapai haul.
Menghitung zakat secara asal tanpa ilmu atau bertanya kepada ahli.
Memberikan zakat kepada kerabat kaya demi menjaga hubungan baik, bukan kepada mustahik.
Zakat bukan milik muzaki—zakat adalah hak mustahik. Inilah prinsip penting menurut Imam Asy-Syafi’i: zakat harus beredar dari orang kaya kepada delapan golongan penerima sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah: 60.
Kesalahan ini banyak terjadi di era modern: zakat diserahkan sebagai bentuk balas jasa, politisasi, atau promosi bisnis.
Dalam syariat, mustahik zakat itu jelas:
fakir, miskin, amil, muallaf, riqab (budak), gharimin (orang berutang), fisabilillah, dan ibnu sabil.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf yang dibujuk hatinya, budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan ibnu sabil.”
(QS. At-Taubah: 60)
Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menegaskan:
Menyalurkan zakat ke selain delapan golongan adalah batil dan tidak sah.
Artinya, muzaki yang menyalurkan zakat ke pihak yang tidak berhak—misal ke panitia acara, teman bisnis, atau pejabat—telah mengkhianati amanah syariat.
Zakat diberikan kepada panitia kegiatan demi promosi.
Zakat diberikan kepada kolega kaya sebagai bentuk “basa-basi”.
Zakat dikemas dalam program CSR untuk branding perusahaan.
Zakat bukan transaksi sosial.
Di antara dosa besar muzaki formalitas adalah menghina penerima zakat, baik secara verbal, emosional, atau sikap.
Allah melarang:
“Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya serta menyakiti (perasaan penerima).”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama menjelaskan maksudnya bukan merendahkan mustahik, tetapi agar pemberi ikhlas dan penerima mendapatkan kehormatan.
Imam Ibn Rajab Al-Hanbali menyatakan:
“Siapa yang memberi dengan niat merendahkan penerima, maka ia telah merusak amalnya.”
Memberi zakat sambil menasehati kasar: “Makanya rajin kerja!”
Mengupload wajah penerima tanpa izin.
Menyebut nominal zakat sambil menuntut ucapan terima kasih.
Memberi zakat harus lembut, rahasia, dan penuh penghormatan. Sebab sebagian mustahik menerima dengan menahan malu yang besar.
Para ulama sepakat: zakat bukan sekadar transaksi finansial, tetapi pembersih jiwa.
Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(QS. At-Taubah: 103)
Imam Qurthubi menafsirkan “membersihkan” sebagai membersihkan sifat kikir.
Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan zakat menyucikan jiwa dari cinta dunia.
Imam Al-Ghazali menyebut zakat adalah latihan spiritual agar harta tidak menjadi berhala.
Karena itu, menjadi muzaki formalitas bukan hanya tidak berfaedah, tetapi bertentangan dengan tujuan hakiki zakat.

Tanamkan bahwa zakat untuk mencari ridha Allah, bukan pujian manusia. Niat adalah ruh ibadah.
Menurut Imam Syafi’i, ibadah wajib tidak sah tanpa ilmu dasar. Pelajari:
nisab,
haul,
jenis harta,
golongan penerima.
Amil zakat yang profesional menjaga:
pendataan mustahik,
distribusi tepat sasaran,
akuntabilitas,
rahasia penerima.
Lembaga seperti BAZNAS, LAZ resmi, dan lembaga wakaf membantu agar zakat masuk sistem ekonomi umat, bukan sekadar amal insidental.
Memberi zakat harus:
tanpa menghinakan penerima,
tidak menyebut nominal,
tidak mempersulit.
Tanyakan pada diri:
Apakah zakatku menumbuhkan empati?
Apakah aku semakin dekat pada Allah?
Apakah penerima mendapat manfaat nyata?
Menjadi muzaki bukan tentang nominal atau status. Islam mengajarkan bahwa zakat adalah ibadah hati, bukan sekadar transfer uang. Muzaki yang formalitas terjatuh pada empat dosa besar:
Riya → menghancurkan pahala
Zalim → menahan atau mengurangi hak mustahik
Tidak tepat sasaran → menyalurkan ke pihak yang tidak berhak
Menghina mustahik → merusak amal dan akhlak
Zakat yang benar adalah zakat yang ikhlas, sesuai syariat, tepat sasaran, dan menjaga kehormatan sesama Muslim. Harta hanyalah titipan. Jangan biarkan ego dan gengsi mencoreng amal kita.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.
Yuk, berinfak dan menjadi muzaki cerdas melalui BAZNAS Kota Sukabumi.
Infak Anda akan menjadi ladang amal yang terus mengalir, meski Anda sedang tidur, bekerja, atau beribadah.
Di tangan lembaga yang amanah, yang Anda keluarkan tak hanya menjadi angka—ia menjadi doa, manfaat, dan kehidupan baru.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai muzaki formalitas melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema Stop Jadi Muzaki Formalitas: 4 Dosa Besarnya Menurut Islam
