STOP menormalisasi HP pada anak. Kenali 7 dampak besar, dalil Al-Qur’an & hadits, pandangan ulama, serta solusi parenting Islami yang efektif untuk orang tua.
Di era sekarang, HP menjadi “tongkat ajaib” sebagian orang tua. Anak rewel? Berikan HP. Anak bosan? Berikan HP. Anak menangis? Berikan HP. Lama-kelamaan, kebiasaan ini dianggap normal, bahkan seolah solusi praktis. Namun normalisasi penggunaan HP pada anak usia dini adalah bom waktu. Dampaknya tidak langsung terlihat hari ini, namun perlahan menghancurkan masa depan mereka — baik mental, fisik, akademik, sosial, maupun spiritual.
Pada usia 0–7 tahun, terjadi apa yang disebut golden age, di mana miliaran koneksi saraf terbentuk berdasarkan pengalaman nyata: menyentuh, bergerak, berbicara, mengamati, berinteraksi. Anak yang terlalu sering menatap layar kehilangan interaksi ini.
HP menyajikan stimulasi instan: animasi cepat, suara keras, warna cerah, pergantian gambar super cepat. Otak menjadi terbiasa mendapat “reward” tanpa usaha. Akibatnya:
Anak sulit fokus pada buku atau percakapan.
Ingin hasil cepat.
Mudah bosan saat belajar.
Sulit sabar menghadapi proses.
Banyak orang tua keliru mengira “anaknya pintar” karena bisa mengoperasikan HP. Padahal yang terjadi justru overstimulasi tanpa makna. Menggeser layar bukan tanda kecerdasan — itu tanda kecanduan visual.

Kemampuan sosial tidak lahir dari layar, tetapi dari kehidupan nyata. Empati muncul saat anak melihat ekspresi orang lain, mendengar nada suara, dan merasakan konsekuensi interaksi.
Anak yang terbiasa HP:
Sulit memahami emosi teman.
Tidak peka dengan ekspresi manusia.
Tidak sabar menunggu giliran bermain.
Mudah tantrum ketika keinginannya tidak dipenuhi.
Jika seorang anak menangis lalu diberi HP, emosinya tidak dihadapi — tapi dibungkam. Ia belajar: “Kesedihan diselesaikan dengan distraksi.” Saat dewasa, ia tidak mampu mengelola rasa sakit, kegagalan, atau konflik sosial.

HP memancarkan cahaya biru (blue light) yang menekan hormon melatonin, yaitu hormon yang mengatur tidur. Anak yang tidur larut karena menonton justru mengalami:
Gangguan konsentrasi di siang hari
Mudah marah
Penurunan daya ingat
Stamina melemah
Belum lagi postur tubuh. Anak duduk menunduk lama, tulang belakang belum kuat, mata terlalu dekat ke layar. Semua ini merusak fisik secara permanen.
Video pendek, gim, dan aplikasi sosial dirancang untuk mencuri perhatian. Setiap scroll atau kemenangan gim memberikan dopamin kecil. Semakin sering, semakin sulit berhenti — inilah mekanisme kecanduan.
Pada anak kecil, yang belum punya kontrol diri, dampaknya jauh lebih parah:
Mereka tantrum ketika HP diambil.
Tidak bisa bermain tanpa layar.
Tidak menikmati aktivitas normal.
Selalu mencari hiburan instan.
Di usia dewasa, mereka akan kesulitan bertahan pada aktivitas yang memerlukan kesabaran: belajar, bekerja, atau ibadah.
Internet bukan tempat aman. Bahkan konten “aman anak” sering mengandung nilai liberal, perilaku kasar, seksual terselubung, gaya hidup konsumtif, dan standar tubuh tidak realistis. Algoritma akan mendorong konten yang lebih ekstrem untuk mempertahankan perhatian.
Anak tidak punya filter moral. Memberikan HP tanpa kontrol sama saja menempatkan mereka di ruangan penuh racun — lalu berharap mereka selamat.
Ini sisi yang paling sering diabaikan. HP pada anak bukan hanya mengurangi waktu ibadah; ia merusak rasa malu, disiplin, syukur, dan ketundukan kepada Allah.
Anak yang larut dalam layar:
Jarang menemani orang tua.
Jarang mendengar nasihat agama.
Tidak merasakan kehangatan keluarga.
Menganggap kehidupan digital lebih “nyata”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini tidak sekadar perintah fisik, tetapi perintah bimbingan, pendidikan, penjagaan iman, akhlak, dan adab. Orang tua yang membiarkan anak terserap dalam HP tanpa bimbingan berarti membiarkan mereka menuju kehancuran spiritual.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari No. 1296 & Muslim No. 2658)
Hadis ini menunjukkan lingkungan dan pendidikan orang tua menentukan arah keimanan dan akhlak anak. Jika HP dan internet menjadi pendidik utama, maka platform digitallah yang membentuk fitrahnya.
Anak yang terbiasa dengan hiburan instan akan kesulitan menghadapi aktivitas akademik yang membutuhkan disiplin. Mereka:
Tidak tahan membaca materi panjang
Suka menunda tugas
Lebih memilih video daripada buku
Tidak menikmati proses memahami pelajaran
Pada akhirnya, IQ bukan yang rusak — tapi kemampuan berpikir mendalam. Anak seperti ini bisa sekolah tinggi, namun tidak kompeten membangun hidup nyata.
Islam bukan anti teknologi. Namun Islam mengajarkan batas, hikmah, dan maṣlaḥah.
Prinsip syariat (Maqāṣid) menekankan 5 penjagaan utama:
Hifzh ad-Din – menjaga agama
Hifzh an-Nafs – menjaga jiwa dan kesehatan
Hifzh al-‘Aql – menjaga akal
Hifzh an-Nasl – menjaga keturunan
Hifzh al-Mal – menjaga harta
Jika teknologi merusak akal, jiwa, keturunan, atau agama, maka penggunaannya wajib dibatasi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:
“Hati anak kecil itu suci, ibarat permata yang belum terukir. Apabila dididik pada kebaikan, ia tumbuh baik; jika dibiarkan begitu saja, ia binasa.”
Memberikan HP tanpa kendali kepada anak bukanlah “kebaikan” — itu adalah kelalaian parenting. Sebaiknya penggunaannya tetap dibawah kendali orang tua.
HP bukan solusi diam, bukan obat emosi.
Jika anak rewel — peluk, ngobrol, dan bimbing.
< 7 tahun: Tidak memiliki HP pribadi. Interaksi fisik dan permainan nyata wajib dominan.
7–12 tahun: Hanya untuk edukasi, durasi terbatas, dan selalu diawasi.
> 12 tahun: Ajari literasi digital, akhlak online, self-control.
Sediakan alternatif:
buku bergambar
mainan konstruksi
alat musik sederhana
olahraga
seni
aktivitas keluarga
Anak memilih HP karena tidak ada alternatif yang ditawarkan.
Anak tidak akan percaya larangan jika orang tua sendiri kecanduan HP.
Minimal 1–2 jam. Ini mengembalikan ritme tidur dan regulasi hormon.
Jangan melihat yang haram
Jaga adab komentar
Jaga waktu ibadah
Gunakan teknologi untuk kebaikan
Jangan memposting aib
Gunakan parental control, whitelist app, bukan sekadar “monitoring setelah terjadi”.
Normalisasi HP pada anak bukan kebaikan modern, tetapi bentuk pengabaian baru. Kerusakan yang ditimbulkannya senyap: menurunkan fokus, merusak emosi, menciptakan kecanduan, mengikis akhlak, dan melemahkan iman. Islam sudah mengajarkan: keluarga adalah benteng pendidikan. HP hanyalah alat — bukan guru, bukan pengasuh, dan bukan teman sejati anak.
Jika orang tua tidak mengendalikan teknologi hari ini, teknologi akan mengendalikan anak besok.
Kamu dapat menyalurkan fidyah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi , yang menyalurkan fidyah, zakat, dan infak dengan amanah dan tepat sasaran. Semoga dengan menunaikan fidyah dengan benar, ibadah kita diterima Allah SWT dan menjadi jalan menuju keberkahan, ampunan, serta ridha-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya mengenai bahaya menormalisasi penggunaan hp pada anak melalui BAZNAS Kota Sukabumi dengan tema STOP Menormalisasi HP pada Anak: 7 Dampak Besar yang Menghancurkan Masa Depannya
