Pelajari apakah akad jual beli di dunia digital sah menurut Islam. Bahas pengertian, prinsip, rukun, tantangan gharar dan riba, serta perbandingan dengan transaksi konvensional.
Perkembangan teknologi dan internet telah mengubah cara manusia bertransaksi. Saat ini, hampir semua kebutuhan—dari belanja pakaian, makanan, hingga investasi—dapat dilakukan secara digital. Namun, kemudahan ini menimbulkan pertanyaan penting bagi umat Islam: apakah akad jual beli secara digital sah menurut syariah? Untuk menjawabnya, perlu kita telaah prinsip-prinsip dasar jual beli dalam Islam, jenis transaksi digital, serta pandangan ulama kontemporer dan klasik.
Secara bahasa, jual beli berasal dari kata “ba’atha” yang berarti “bertukar” atau “menyerahkan sesuatu dengan sesuatu lainnya”. Dalam istilah fikih, jual beli (al-bay’ atau al-tijarah) adalah akad pertukaran antara dua pihak di mana satu pihak menyerahkan suatu barang atau jasa, dan pihak lain menyerahkan imbalan berupa uang atau barang lain, dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Menurut Imam al-Qarafi dalam al-Furuq, jual beli adalah:
“Pertukaran sesuatu yang bermanfaat dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan kerelaan dan persetujuan kedua belah pihak.”
Pengertian ini menekankan tiga hal penting:
Pertukaran barang/jasa yang bermanfaat – artinya transaksi harus nyata dan memberikan manfaat, bukan spekulasi murni atau janji kosong.
Imbalan yang jelas – harga atau bentuk kompensasi harus transparan.
Persetujuan sukarela – tidak ada paksaan atau penipuan.
Dalam konteks modern, pengertian ini berlaku juga pada transaksi digital. Misalnya, ketika seseorang membeli pulsa atau membayar layanan desain grafis online, transaksi itu tetap termasuk jual beli karena ada pertukaran barang/jasa dengan imbalan, dan kedua pihak menyetujuinya secara sadar.
Islam menekankan bahwa setiap transaksi harus memenuhi prinsip kejujuran dan keadilan. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Ayat ini menegaskan dua prinsip penting: transaksi harus sukarela (suka sama suka) dan bebas dari ketidakjelasan (gharar). Selain itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menekankan bahwa kejujuran dalam transaksi adalah syarat utama keshalihan jual beli. Setiap praktik yang menipu, menyembunyikan cacat barang, atau menimbulkan ketidakjelasan bisa membatalkan akad.
Menurut Imam Syafi’i dalam Al-Umm, rukun sah jual beli adalah:
Penjual dan pembeli yang sah (baligh, berakal, dan merdeka).
Barang yang jelas baik jenis, jumlah, dan kualitasnya.
Harga yang disepakati tanpa adanya unsur penipuan atau manipulasi.
Ijab dan qabul (persetujuan) yang nyata antara kedua pihak.
Dalam dunia digital, “ijab dan qabul” sering diwujudkan melalui klik tombol “beli” atau konfirmasi pembayaran. Selama hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh, akad dapat dianggap sah.
Para ulama kontemporer sepakat bahwa transaksi digital pada prinsipnya sah jika memenuhi syarat jual beli. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli dalam Fiqh al-Mu’amalat al-Mu’asirah menyatakan bahwa transaksi elektronik sama dengan transaksi konvensional, selama:
Ada persetujuan sukarela.
Barang dan harga jelas.
Tidak ada unsur gharar atau penipuan yang signifikan.
Sheikh Monzer Kahf menambahkan bahwa media digital hanyalah sarana, bukan penghalang syariah. Artinya, tombol “beli”, transfer bank, atau aplikasi e-commerce hanyalah metode modern untuk menyatakan persetujuan. Selama rukun dan syarat terpenuhi, akad dianggap sah.

Beberapa jenis jual beli digital yang umum dan dianalisis ulama:
Belanja barang fisik melalui e-commerce: Sah, selama deskripsi barang lengkap, harga jelas, dan mekanisme pengembalian ada.
Transaksi jasa digital (misal: kursus online, desain grafis): Sah, asalkan ruang lingkup pekerjaan, harga, dan waktu penyelesaian jelas.
Investasi dan jual beli aset digital: Lebih kompleks karena sering melibatkan risiko tinggi. Jika transaksi mengandung unsur riba, spekulasi berlebihan (maysir), atau ketidakjelasan besar (gharar), ulama menyarankan berhati-hati atau menghindari.
Meskipun secara prinsip sah, transaksi digital berisiko mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan yang bisa merugikan salah satu pihak. Contohnya:
Barang yang diterima berbeda dari deskripsi.
Pembayaran dilakukan sebelum kepastian barang dikirim.
Platform digital gagal mengirim barang karena masalah teknis atau sengaja menunda.
Dalam kasus gharar besar, Imam Malik berpendapat akad tidak sah, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyah memperbolehkan jika risiko relatif kecil. Untuk itu, konsumen dianjurkan:
Memastikan deskripsi barang jelas.
Memilih platform terpercaya dengan kebijakan refund.
Memastikan transaksi transparan dari pembayaran hingga pengiriman.
Selain gharar, transaksi digital juga berpotensi mengandung riba jika ada bunga atau keuntungan tidak adil, misalnya dalam kredit online atau investasi tertentu. Al-Qur’an menegaskan:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ulama kontemporer menekankan, transaksi digital harus dihindarkan dari riba, baik tersirat maupun tersurat. Jika pembayaran dicicil dengan bunga atau platform investasi memberikan keuntungan pasti tanpa risiko, hal ini dapat membatalkan akad menurut syariah.
Secara prinsip, jual beli digital tetap mengikuti syariah seperti jual beli konvensional, hanya media dan cara pelaksanaannya yang berbeda.
Pada transaksi konvensional, pembeli dan penjual bertemu langsung, melakukan ijab dan qabul secara lisan atau tertulis, memeriksa barang secara fisik, dan menyepakati harga di tempat. Risiko penipuan atau ketidakjelasan relatif kecil karena interaksi nyata.
Sementara itu, jual beli digital dilakukan melalui aplikasi atau platform online. Ijab dan qabul diwujudkan melalui klik “beli” atau konfirmasi pembayaran, dan kepastian barang bergantung pada deskripsi, foto, dan ulasan. Risiko gharar lebih tinggi karena barang mungkin tidak sesuai deskripsi atau pengiriman tertunda.
Meski berbeda metode, prinsip syariah tetap sama: persetujuan sukarela, barang dan harga jelas, serta bebas riba dan penipuan.
Transaksi jual beli di dunia digital pada dasarnya sah menurut syariah selama memenuhi prinsip utama: persetujuan sukarela, barang atau jasa yang jelas, harga transparan, dan bebas dari riba maupun penipuan. Meski media dan metode berbeda dengan transaksi konvensional, prinsip syariah tetap sama, sehingga umat Muslim dapat bertransaksi secara aman, halal, dan penuh keberkahan.
Sebagai wujud nyata pengamalan nilai-nilai kejujuran dan amanah yang diajarkan dalam Islam, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya dengan bersedekah. Kini, bersedekah bisa dilakukan lebih mudah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, salurkan sedekahmu melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan mengamalkan prinsip jual beli yang sesuai syariah dan menunaikan sedekah, kita memperoleh keberkahan rezeki, pahala yang terus mengalir, serta kelapangan hidup dunia-akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Sah atau Tidak? Mengungkap Fakta Akad Jual Beli di Dunia Digital
