Dalam Islam, lisan adalah anugerah sekaligus amanah besar. Melalui lisan, manusia dapat menyampaikan kebenaran, memberi nasihat, berdakwah, dan mengingatkan sesama. Namun melalui lisan pula seseorang bisa terjatuh pada dosa besar seperti ghibah, fitnah, dusta, atau menyakiti hati orang lain. Maka tidak heran jika pembahasan tentang lisan mendapat perhatian besar dari Al-Qur’an, hadis, dan para ulama sepanjang sejarah.
Secara bahasa, lisan berarti organ mulut yang digunakan manusia untuk berbicara. Namun dalam Islam, maknanya lebih luas: lisan adalah segala bentuk ucapan, baik melalui mulut maupun tulisan. Dalam konteks modern, unggahan di media sosial, komentar, atau pesan teks termasuk bagian dari “lisan” yang akan dihisab.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap kata yang keluar akan dicatat:
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)
Ayat ini menunjukkan bahwa lisan bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bagian dari ibadah. Nabi ﷺ pun mengingatkan:
“Tidak ada sesuatu yang lebih banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka selain hasil panen lisannya.”
(HR. Tirmidzi)
Dengan demikian, lisan menurut Islam adalah amanah yang harus dijaga, dikendalikan, dan digunakan dengan penuh kehati-hatian.
Para ulama sejak dahulu telah menekankan urgensi menjaga lisan. Masing-masing ulama memiliki penjelasan yang mendalam namun saling melengkapi.
Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa lisan adalah “penerjemah hati”. Jika hati kotor, lisan akan mudah menyakiti. Karena itu, Al-Ghazali menyebut menjaga lisan sebagai salah satu kunci menjaga kebersihan hati.
Beliau membagi dosa lisan menjadi banyak jenis: ghibah, fitnah, adu domba, ucapan sia-sia, kesombongan, dan kebohongan. Menurutnya, diam dari dosa-dosa ini adalah ibadah besar.
Dalam Al-Adzkar, Imam Nawawi menyatakan bahwa diam lebih selamat, kecuali jika berbicara membawa manfaat yang jelas. Hadis “berkata baik atau diam” menurut beliau adalah kaidah agung dalam akhlak seorang muslim.
Ia menyebut lisan sebagai “alat yang paling cepat menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan”. Menurutnya, ucapan tidak akan lurus kecuali hati lurus—karena ucapan adalah cerminan jiwa.
Imam Malik dikenal sangat berhati-hati. Murid-muridnya meriwayatkan bahwa beliau sangat jarang bicara kecuali pada perkara yang yakin kebenarannya. Bagi beliau, diam adalah bentuk kehati-hatian ilmiah.
Syafi’i: berbicara harus dengan ilmu dan adab; diam lebih baik jika ucapan tidak membawa maslahat.
Hanafi: ucapan harus ditimbang antara maslahat dan mudarat; jika mudarat lebih besar, maka wajib diam.
Maliki: menekankan hikmah dan ketepatan waktu berbicara.
Hanbali: berbicara untuk kebenaran adalah bagian dari agama, terutama dalam amar makruf nahi munkar.
Dari semua pandangan tersebut terlihat bahwa ulama sepakat: diam adalah ibadah ketika ucapan membawa bahaya, sementara berbicara adalah ibadah ketika ucapan membawa manfaat dan kebenaran.
Mengemukakan pendapat adalah bagian dari fungsi ucapan. Namun Islam tidak mengizinkan seseorang berbicara seenaknya tanpa batas. Ada adab, syarat, dan situasi tertentu yang menjadikan mengemukakan pendapat itu dianjurkan, wajib, atau bahkan dilarang.

Ada beberapa kondisi ketika seorang muslim justru wajib berbicara:
Ketika melihat kemungkaran
Hadis Nabi ﷺ:
“Ubah dengan tanganmu… jika tidak mampu, dengan lisanmu.” (HR. Muslim)
Mengingatkan dengan lisan termasuk kewajiban amar makruf nahi munkar.
Ketika diperlukan untuk menegakkan kebenaran
Dalam QS. An-Nisa: 135 Allah memerintahkan agar kaum beriman bersaksi dengan adil, bahkan terhadap diri sendiri.
Ketika seseorang membutuhkan nasihat
Nasihat adalah bagian dari agama: “Ad-din an-nashihah.” (HR. Muslim)
Ketika diam menyebabkan kerusakan lebih besar
Ulama Hanafiyah sangat tegas: jika diam membuat kemungkaran berkembang, maka berbicara menjadi wajib.
Dalam forum ilmiah, diskusi, atau musyawarah.
Ketika pendapat dapat memberi solusi atau memperbaiki keadaan.
Ketika pendapat dapat menenangkan atau menjembatani konflik.
Islam melarang berbicara jika:
ucapan tidak berdasar ilmu,
bisa menyakiti atau merusak kehormatan orang lain,
memicu permusuhan, fitnah, atau perpecahan,
dilakukan dalam keadaan marah.
Nabi ﷺ menasihati:
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad)
Mengutamakan kebenaran, bukan ego
Imam Syafi’i berkata: “Pendapatku benar namun mungkin salah; pendapat orang lain salah namun mungkin benar.”
Ini menunjukkan kerendahan hati dalam berdialog.
Menggunakan ucapan lembut dan tidak merendahkan
Allah memerintahkan Musa berbicara lembut kepada Firaun (QS. Thaha: 44).
Menimbang maslahat dan mudarat
Kaidah fikih:
Meninggalkan kerusakan didahulukan daripada menarik manfaat.
Tidak memotong pembicaraan atau memaksakan pendapat
Banyak ulama menekankan bahwa memaksakan pendapat termasuk akhlak tercela.
Islam bukan ajaran yang menyuruh diam total, bukan juga ajaran yang membebaskan bicara tanpa kendali. Islam mengajarkan tawazun—keseimbangan.
Ulul albab digambarkan sebagai orang-orang yang berkata qawlan sadida (perkataan yang benar), qawlan layyina (lembut), qawlan ma’rufa (baik), dan qawlan karima (mulia). Semua istilah ini menandakan bahwa berbicara punya aturan.
Para ulama memberi kaidah sederhana namun mendalam:
Jika ucapan membawa maslahat yang jelas, bicaralah.
Jika mudaratnya lebih besar, diamlah.
Inilah prinsip emas dalam Islam.
Menyampaikan kritik di media sosial harus dengan adab, tidak mencela.
Mengoreksi teman di chat harus lembut, tidak mempermalukan.
Mengungkapkan pendapat di kelas atau rapat harus berdasarkan ilmu, bukan emosi.
Menyebarkan kabar harus dicek kebenarannya agar tidak masuk kategori fitnah.
Di era digital, jari adalah ucapan kedua—dan dosa tulisan sama dengan ucapan.
Menjaga ucapan dan mengatur kapan harus berbicara adalah bagian penting dari akhlak seorang muslim. Islam tidak hanya menuntun agar kita diam ketika ucapan dapat menyakiti, tetapi juga mendorong kita untuk berbicara ketika kebenaran harus ditegakkan. Para ulama telah menegaskan bahwa ucapan adalah amanah besar yang membawa dampak luas: ia bisa menjadi jalan menuju surga, namun bisa juga menjerumuskan seseorang ke dalam dosa besar. Karena itu, seorang muslim harus senantiasa menimbang setiap ucapan dengan hati yang bersih, ilmu yang benar, dan adab yang luhur.
Di tengah kehidupan modern—terutama di era media sosial—pengendalian ucapan menjadi semakin penting. Setiap komentar, unggahan, dan pesan yang kita tulis termasuk dalam hisab. Prinsip Islam sangat jelas: berbicara jika membawa manfaat; diam jika perkataan menimbulkan mudarat. Dengan meneladani ajaran Nabi ﷺ dan pandangan para ulama, kita dapat terhindar dari dosa perkataan serta menjadikannya sebagai sarana untuk menebar kebaikan.
Sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai kebaikan ini, Islam juga mendorong kita untuk memperbanyak amal saleh—salah satunya melalui sedekah. Sedekah adalah ibadah yang membersihkan hati, melunakkan lisan, dan menambah keberkahan hidup. Ketika seseorang terbiasa bersedekah, hatinya menjadi lembut dan lisannya semakin terjaga dari ucapan yang buruk.
Kini, bersedekah bisa dilakukan dengan lebih mudah melalui lembaga resmi dan terpercaya seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Mari wujudkan lisan yang baik melalui amal yang baik. Yuk, tunaikan sedekah sekarang juga di website resmi BAZNAS Kota Sukabumi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan menjaga lisan dan memperbanyak sedekah, Allah memberikan kita kelapangan rezeki, dijaga dari segala keburukan, dan dianugerahi pahala yang terus mengalir hingga akhirat. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Antara Menjaga Lisan dan Berpendapat: Bagaimana Islam Mengatur Batasnya?
