Pelajari perbedaan antara munfik yang ikhlas dan munfik yang pamer serta 7 pelajaran dari dalil Al-Qur’an, hadits, dan ulama. Temukan cara menjaga niat, meraih pahala maksimal, dan berinfak dengan ikhlas di era modern.
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah munfik sering muncul dalam konteks ibadah dan kebaikan. Kata munfik berasal dari bahasa Arab “anfaqa” yang berarti menginfakkan atau membelanjakan harta untuk kebaikan. Namun, syariat Islam menekankan bahwa niat dan cara seseorang berinfak sangat menentukan kualitas amalnya. Tidak semua yang terlihat sebagai kebaikan di mata manusia akan diterima oleh Allah jika niatnya salah. Di sinilah muncul perbedaan antara munfik yang ikhlas dan munfik yang pamer.
Secara umum, munfik adalah orang yang membelanjakan harta untuk kebaikan, seperti sedekah, zakat, infak di jalan Allah, atau membantu orang lain yang membutuhkan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, tiap tangkai berisi seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap harta yang disalurkan untuk kebaikan akan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah, asal dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk riya’ atau pamer.
Namun, jika seseorang berinfak hanya untuk menunjukkan diri di hadapan manusia, misalnya agar dipuji atau diakui, maka amalnya bisa menjadi sia-sia. Hal ini disebut munfik yang pamer, yaitu munfik yang niatnya tercampur oleh kesombongan, ingin dilihat orang lain, atau mencari pujian duniawi.
Berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para ulama, berikut lima pelajaran penting terkait munfik yang ikhlas dan munfik yang pamer.
Pelajaran pertama adalah bahwa niat menentukan diterima atau tidaknya amal. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang berinfak dengan niat ikhlas untuk mencari ridha Allah, maka amalan tersebut diterima. Sebaliknya, jika niatnya untuk pamer, riya’, atau mencari pujian manusia, maka pahala bisa hilang atau bahkan menjadi dosa. Ulama seperti Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa “amal yang paling tinggi nilainya adalah yang dilakukan dengan niat ikhlas, jauh dari pandangan manusia”.
Riya’ adalah pamer dalam beramal. Allah berfirman:
“Dan mereka menafkahkan hartanya hanya agar dilihat manusia. Tidak ada bagi mereka pahala sedikit pun di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini menegaskan bahwa pamer atau riya’ dapat menghapus pahala amal, bahkan bisa menjadi dosa besar. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa harta yang diinfakkan dengan riya’ tidak akan membawa keberkahan dan bisa menjadi alasan seseorang dijauhi keberkahan Allah.
Praktiknya, seseorang yang mengunggah sedekahnya di media sosial semata-mata untuk mendapat pujian manusia termasuk kategori munfik yang pamer, bukan ikhlas. Sedangkan jika sedekah dilakukan diam-diam atau tidak diumbar ke publik, pahala akan tetap utuh dan rahasia di sisi Allah.
Munfik yang ikhlas akan merasakan ketenangan batin. Allah berfirman:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai…” (QS. Al-Baqarah: 261)
Bukan hanya pahala di akhirat, infak yang ikhlas juga memberikan rasa puas, ridha, dan kebahagiaan dalam hati. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ikhlas membuat hati ringan dan jauh dari beban kesombongan atau rasa ingin dipuji manusia. Sebaliknya, orang yang berinfak untuk pamer justru sering merasa lelah, cemas, atau selalu ingin dibandingkan dengan orang lain.

Allah menjanjikan balasan yang berlipat ganda bagi mereka yang ikhlas. Rasulullah SAW bersabda:
“Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah. Memberi minum air kepada hewan juga sedekah. Dan setiap kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas akan dilipatgandakan pahala-Nya.” (HR. Ahmad)
Pelajaran ini mengajarkan bahwa infak tidak selalu harus berupa uang. Setiap amal kebaikan, jika dilakukan ikhlas, akan mendapatkan ganjaran dari Allah. Munfik yang pamer, sebaliknya, fokus pada pengakuan manusia, sehingga mengurangi kualitas dan pahala amalnya.
Ulama menekankan bahwa menjaga amal tetap rahasia adalah bentuk ketaatan tertinggi. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang beramal diam-diam akan mendapat tiga keuntungan:
Pahala tetap utuh tanpa tercampur riya’.
Menjaga kehormatan diri dari kesombongan.
Mendapat ketenangan hati karena tidak tergantung pujian manusia.
Rasulullah SAW juga mencontohkan ini ketika beliau bersedekah tanpa diketahui oleh siapa pun, bahkan istrinya pun kadang tidak tahu. Hal ini menunjukkan bahwa amal rahasia jauh lebih mulia di sisi Allah dibandingkan yang diumbar untuk pamer.
Munfik yang pamer tidak hanya berdampak pada amalnya sendiri, tetapi juga bisa mempengaruhi hubungan dengan orang lain. Dalam hadits, Rasulullah SAW mengingatkan tentang bahaya riya’:
“Barangsiapa yang ingin dipuji manusia, maka pahala amalnya akan dihapus.” (HR. Ahmad)
Selain itu, ketika seseorang sering pamer infak, orang-orang di sekitarnya bisa merasa iri atau rendah diri, sehingga muncul kecemburuan sosial. Hal ini justru bisa merusak ukhuwah (persaudaraan). Ulama kontemporer menekankan pentingnya menjaga etika sedekah: jangan sampai kebaikan kita justru menimbulkan fitnah atau perasaan negatif pada orang lain. Sebaliknya, munfik yang ikhlas memperkuat tali persaudaraan karena orang lain tidak merasa dibandingkan, dihina, atau tersaingi.
Praktik nyata: sedekah diam-diam, zakat melalui lembaga resmi, atau membantu tetangga tanpa diumbar di media sosial. Ini menjaga amal tetap murni dan hubungan sosial tetap harmonis.
Dalam era digital, pamer sedekah atau amal kebaikan sangat mudah melalui media sosial. Banyak orang ingin menunjukkan kebaikan mereka dengan foto, caption, atau story agar mendapat like dan komentar. Ulama kontemporer menekankan bahwa niat ikhlas harus tetap dijaga, walau teknologi memudahkan pamer.
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kamu menafkahkan hartamu hanya untuk menunjukkan kebaikanmu di hadapan manusia…” (QS. Al-Baqarah: 264)
Di sinilah pentingnya kesadaran diri: kita harus bisa membedakan antara berbagi untuk menginspirasi orang lain dengan riya’ semata. Berbagi tips kebaikan boleh, asal tidak mengandung niat mencari pujian manusia. Munfik yang ikhlas tetap bisa memanfaatkan teknologi, tapi dengan niat memperbanyak pahala dan memberi manfaat, bukan mencari pengakuan sosial.
Contoh: membagikan informasi program sedekah atau bantuan untuk orang lain tanpa menonjolkan diri sendiri, tetap termasuk amal yang mulia.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi orang yang berinfak yang ikhlas merupakan tujuan setiap muslim dalam beramal. Munfik yang ikhlas menyalurkan hartanya untuk mencari ridha Allah, menjaga niat tetap murni, menenangkan hati, dan memperoleh pahala berlipat ganda. Sebaliknya, munfik yang pamer berisiko kehilangan keberkahan dan pahala karena amalnya tercampur riya’ serta ingin dilihat manusia.
Tujuh pelajaran penting yang dapat diambil antara lain: niat adalah kunci penerimaan amal; riya’ merusak keberkahan infak; infak ikhlas menenangkan hati; perbuatan ikhlas mendatangkan balasan tak terduga; rahasia amal adalah bentuk ketaatan tertinggi; dampak munfik yang pamer pada hubungan sosial; serta membedakan munfik ikhlas dan pamer dalam kehidupan modern.
Sebagai wujud nyata pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam Surat Al-Fatihah, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya dengan bersedekah. Kini, bersedekah bisa dilakukan lebih mudah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, mulai berinfak dengan ikhlas! Melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Kamu bisa menyalurkan sedekah dengan aman, terpercaya, dan membawa keberkahan. Semoga dengan mengamalkan Surat Al-Fatihah dan menunaikan sedekah, kita memperoleh keberkahan, kelapangan rezeki, serta pahala yang terus mengalir hingga akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Antara Munfik Yang Ikhlas atau Munfik Yang Pamer : 7 Pelajaran Dari Dalil Syariat
