Pelajari makna ilmu dalam Islam bukan sekadar hafalan, tetapi pemahaman yang menghidupkan hati. Artikel ini membahas dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama, serta aksi nyata agar proses belajar menjadi lebih bermakna dan penuh keberkahan.
Belajar dalam Islam bukan hanya tentang mengumpulkan informasi, apalagi sekadar menghafal tanpa memahami. Ilmu dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan Allah mengangkat derajat orang yang berilmu beberapa tingkat dibandingkan hamba lain. Karena itu, belajar harus menjadi perjalanan yang bermakna—bukan hanya memenuhi kepala dengan hafalan, tetapi menghidupkan hati, membentuk akhlak, dan menguatkan hubungan dengan Allah.
Artikel ini akan membahas kedalaman makna ilmu menurut Islam, disertai dalil Al-Qur’an, hadits, pandangan ulama klasik dan kontemporer, serta aksi nyata yang dapat dilakukan untuk menjadikan proses belajar lebih berkah.
Dalam banyak ayat dan hadits, ilmu didudukkan sebagai cahaya yang membedakan manusia dari kegelapan kebodohan. Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan mental, tetapi karunia yang memuliakan seseorang ketika ia mengamalkannya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa ilmu adalah jalan untuk mendekat kepada Allah, dan ilmu yang tidak mendorong seseorang kepada amal shalih adalah ilmu yang tidak bermanfaat.
Beliau berkata:
“Ilmu yang hakiki adalah yang mendorong pemiliknya untuk takut kepada Allah.”
Hal ini sejalan dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”
(QS. Fāthir: 28)
Di sini, ilmu bukan diukur dari banyaknya hafalan, tetapi kedalaman pengaruhnya terhadap hati.
Dalam tradisi Islam, menghafal memang dihargai—terutama dalam menjaga Al-Qur’an dan hadits. Namun para ulama selalu menekankan bahwa fahm (pemahaman) lebih utama daripada sekadar hifzh (hafalan).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan padanya, maka Allah menjadikannya paham dalam agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “menghafal agama,” tetapi memahami agama.
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ menyebut tiga golongan yang pertama kali diseret ke neraka—salah satunya adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an tetapi tujuannya hanya untuk dipuji sebagai orang alim (HR. Muslim). Ini menegaskan bahwa hafalan tanpa keikhlasan dan pemahaman dapat menjadikan seseorang celaka.
Imam Malik pernah berkata kepada murid-muridnya:
“Ilmu itu bukanlah banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah letakkan dalam hati.”
Ibnul Qayyim juga menegaskan:
“Ilmu tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah.”
Artinya, proses belajar yang hanya menghafal tetapi tidak memahami dan mengamalkan, ibarat mengumpulkan informasi kosong yang tidak menghasilkan perubahan hidup.
Belajar harus menggerakkan akal dan hati. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berfikir, merenung, dan memahami.
Allah berfirman:
“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an?”
(QS. An-Nisā’: 82)
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama mempelajari wahyu adalah agar manusia merenungkannya—bukan sekadar membacanya atau hafalan tanpa mengerti.
Begitu pula perintah untuk menggunakan akal, seperti dalam ayat:
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar: 9)
Islam menginginkan umatnya menjadi orang yang kritis, tajam pikirannya, dan memiliki wawasan luas.
Para ulama menjelaskan bahwa belajar adalah ibadah terbesar setelah ibadah wajib. Imam Nawawi menyatakan:
“Menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama setelah ibadah wajib.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Dengan demikian, belajar bukan hanya aktivitas akademik, tetapi ibadah yang membawa pahala jariyah, selama diniatkan karena Allah.
Para ulama membagi ilmu menjadi dua:
Ilmu yang mengantarkan seseorang mengenal Allah, memahami perintah-Nya, dan menjalani hidup sesuai syariat.
Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
“Setiap ilmu selain Al-Qur’an hanyalah kesibukan, kecuali ilmu fiqih dalam agama dan hadits yang shahih.”
Maksudnya bukan meremehkan ilmu dunia, tetapi menekankan bahwa ilmu agama adalah fondasi.
Ilmu ini juga penting dan termasuk fardhu kifayah—seperti sains, kesehatan, teknologi, matematika, ekonomi, dan lain-lain. Semua menjadi ibadah jika diniatkan untuk kemaslahatan umat.
Rasulullah ﷺ pernah meminta para sahabat memanfaatkan keahlian ahli dunia dalam urusan strategis, seperti strategi perang, kedokteran, dan administrasi. Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya menguasai sains dan teknologi, bukan hanya ilmu syariat.
Para ulama menyebut beberapa tanda ilmu yang bermanfaat:
Menambah rasa takut kepada Allah
Melahirkan akhlak mulia
Mendorong amal shalih
Menjauhkan dari maksiat
Membuat seseorang rendah hati
Tidak digunakan untuk riya’
Ibn Mas’ud berkata:
“Ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah.”
Ini menjadi pengingat bahwa belajar tanpa mengubah akhlak hanyalah aktivitas intelektual yang hampa.
Agar belajar tidak berhenti pada hafalan, berikut langkah praktis yang dapat diterapkan:
Niatkan belajar untuk:
mencari ridha Allah
memperbaiki diri
memberi manfaat pada umat
Tuliskan niatmu sebelum belajar.
Gunakan teknik:
membaca sambil mencatat
membuat peta konsep (mind map)
menjelaskan kembali dengan kata-katamu sendiri
berdiskusi

Setiap kali belajar sesuatu, tanyakan:
apa hikmahnya?
bagaimana menerapkannya?
apa dampaknya bagi diri dan orang lain?
Contoh:
belajar tentang sabar → praktikkan saat ada ujian
belajar ayat Al-Qur’an → amalkan kandungannya
belajar ilmu dunia → gunakan untuk membantu orang lain
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sampaikan dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)
Mengajarkan ilmu membuat pemahaman semakin kuat dan pahalanya mengalir.
Para ulama seperti Imam Malik, Imam Nawawi, dan Ibnul Qayyim menjelaskan adab utama:
tidak sombong
tidak berdebat tanpa manfaat
menghormati guru
menjaga kebersihan hati
Tulis tiga hal:
apa yang kupelajari hari ini
apa yang kupahami
apa yang akan kupraktikkan

Belajar dalam Islam bukan sekadar mengisi kepala dengan hafalan, tetapi menghidupkan hati, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu yang benar adalah ilmu yang membimbing seseorang untuk memahami, merenungi, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama, Al-Qur’an, dan hadits menegaskan bahwa ilmu harus melahirkan perubahan diri—membuat kita lebih rendah hati, lebih bijaksana, dan lebih bermanfaat bagi sesama.
Sebagai wujud nyata pengamalan nilai-nilai ilmu yang telah kita pelajari, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan—salah satunya melalui sedekah. Sedekah bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga membuka pintu keberkahan, kelapangan rezeki, serta pahala yang mengalir tanpa henti.
Kini, bersedekah bisa dilakukan dengan mudah melalui lembaga resmi di BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk tunaikan sedekah melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan mengamalkan ilmu dan memperbanyak sedekah, Allah memberikan kita cahaya ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, serta pahala yang tidak terputus hingga akhirat. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Belajar Bukan Sekadar Hafalan: Menemukan Makna Ilmu Menurut Perspektif Islam
