Temukan kunci kebahagiaan sejati dalam Islam: menghidupkan hati dengan dzikrullah, syukur, tawakkal, dan ibadah. Pelajari panduan ulama untuk meraih ketenangan hakiki.
Kebahagiaan (sa’adah) adalah tujuan universal manusia. Ironisnya, di zaman yang serba canggih dan berkelimpahan materi ini, justru banyak orang merasa hampa, gelisah, dan terjebak dalam pusaran ketidakpuasan. Bukan karena mereka kekurangan harta, kurang perhatian, atau kurang pencapaian duniawi, tetapi karena mereka lupa satu prinsip besar yang selalu Islam ajarkan: ketenangan dan kebahagiaan sejati berasal dari hati yang terhubung dengan Allah (dzikrullah).
Kita sering mengejar kebahagiaan dari hal-hal di luar diri: validasi orang lain, pencapaian duniawi, atau kemewahan hidup. Namun, Islam mengajarkan bahwa sumber kebahagiaan yang paling kuat bukanlah sesuatu di luar, melainkan kondisi hati (qalbun salim).
Inti dari kebahagiaan dalam Islam adalah ketenangan jiwa (thuma’ninah). Ketenangan ini tidak bisa dibeli atau dipaksakan, melainkan merupakan anugerah yang turun langsung ke dalam hati yang berdzikir.
Allah SWT berfirman secara tegas:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”* (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat ini turun sebagai jawaban atas kegelisahan manusia yang selalu merasa kurang tanpa sebab. Imam Ibn Katsir (w. 774 H) menjelaskan dalam Tafsir Ibn Katsir bahwa makna ayat ini adalah: “Tidak ada sesuatu pun yang dapat menenangkan hati manusia secara hakiki kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dan merasa bahwa Allah menyertai mereka.”
Lebih lanjut, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya menegaskan bahwa makna “tatma’innu al-qulub” bukan sekadar ketenangan biasa, tetapi ketenangan mendalam yang melahirkan kebahagiaan batin, karena hati telah menemukan Tuhannya. Artinya, jika dalam hidup kita terasa ada kekosongan, mungkin kita bukan kurang bahagia—kita hanya kurang mengingat Allah.

Kesehatan dan kebahagiaan spiritual seorang Mukmin ditentukan oleh kondisi organ paling inti: hati.
Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama seperti Imam Ibn Rajab Al-Hanbali (w. 795 H) menjelaskan bahwa hadis ini menegaskan: segala sikap, rasa, dan kebahagiaan seseorang berakar dari kondisi hatinya. Hati yang dekat dengan Allah, dipenuhi iman, dan rajin berdzikir akan merasakan cukup (qana’ah) walau sedikit, tenang walau dunia sedang kacau, dan bahagia walau banyak kekurangan. Sebaliknya, hati yang sakit atau lalai akan merusak seluruh aspek kehidupan, bahkan saat dikelilingi kemewahan.
Karena itu, jika seseorang merasa hidupnya berat, bukan berarti ia tidak punya kebahagiaan, tapi hatinya sedang menjauh dari sumber ketenangan itu sendiri.
Salah satu manifestasi terbesar dari kelalaian hati adalah lupa bersyukur. Banyak orang tak bahagia karena mereka fokus pada apa yang hilang, bukan apa yang tersisa. Mereka sibuk melihat kekurangan daripada mensyukuri karunia yang sudah ada.
Padahal, Allah sendiri menjanjikan kaidah ilahi tentang kelimpahan, yang di dalamnya termasuk kelimpahan batin:
Artinya: “Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kalian.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwa “tambahan” (lā’azīdanna-kum) di ayat ini adalah tambahan nikmat lahir dan batin, termasuk ketenangan, keberkahan, dan kebahagiaan. Ketika hati dipenuhi syukur, ia berhenti membandingkan dan mengejar yang fana, sehingga jiwa menjadi tentram.
Banyak kegelisahan datang karena kita memikul beban hidup seolah-olah semuanya tanggung jawab kita semata, tanpa menyerahkan hasil akhir kepada Al-Qayyum (Yang Maha Mengurus).
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah cukup baginya.” (QS. At-Talaq [65]: 2-3)
Imam Ibn ‘Atha’illah As-Sakandari (w. 709 H) dalam Al-Hikam berkata:
“Istirahatkan dirimu dari rencana-rencanamu, karena apa yang telah Allah lakukan untukmu tidak mampu engkau lakukan dengan dirimu sendiri.”
Tawakkal bukan berarti pasrah buta, melainkan usaha maksimal diikuti dengan keyakinan penuh bahwa hasil akhirnya berada di tangan Allah. Keyakinan inilah yang membebaskan hati dari tekanan dan kekhawatiran yang tidak perlu, membuat hati ringan, dan menjadikannya bahagia.
Kadang kita merasa tidak bahagia karena terlalu berharap dunia akan selalu mudah dan bebas dari masalah. Padahal, Allah sudah mengingatkan hakikat penciptaan manusia:
Artinya: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah (kesulitan).” (QS. Al-Balad [90]: 4)
Imam Al-Ghazali (w. 505 H) menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa kesedihan, kegelisahan, kesulitan, dan ujian adalah bagian inheren dari kehidupan duniawi. Kebahagiaan sejati bukanlah hilangnya ujian, tetapi bagaimana hati menerima takdir dengan ridha dan syukur.
Rasulullah SAW bersabda, menegaskan kaidah ini:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, itu baik baginya. Jika tertimpa musibah, ia bersabar, itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Artinya, kebahagiaan seorang Mukmin tidak terenggut oleh masalah. Ia bahagia dalam syukur dan juga tenang dalam sabar.
Para ulama sepakat bahwa ibadah adalah “makanan bagi hati”. Mengabaikan ibadah sama dengan membiarkan hati kelaparan hingga mati.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata:
“Hati akan mati tanpa ibadah, sebagaimana tubuh akan mati tanpa makanan.”
Shalat, membaca Al-Qur’an, zikir, shalawat, dan doa adalah cara untuk memberi energi ruhani. Banyak orang merasa hampa bukan karena lelah fisik, tetapi karena kehausan spiritual.
Shalat, khususnya, adalah terapi jiwa. Rasulullah SAW bahkan melihat shalat sebagai sumber ketenangan dan kenikmatan tertinggi, sebagaimana sabdanya kepada Bilal:
“Wahai Bilal, bangkitkan kami dengan shalat (azan).” (HR. Abu Dawud)
Jika kamu merasa tidak bahagia, mungkin bukan karena hidupmu kurang. Mungkin kamu hanya lupa satu hal yang Islam ajarkan sejak awal: bahwa hati hanya akan bahagia jika dekat dengan Allah.
Berikut beberapa langkah praktis dari tuntunan Al-Qur’an dan bimbingan para ulama untuk menghidupkan hati kembali:
Perbanyak Dzikir Harian: Imam Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Adzkar menekankan pentingnya dzikir pagi-petang. Dzikir adalah “pelindung hati” dan “penenang jiwa” dari serangan bisikan setan dan kekhawatiran dunia.
Biasakan Syukur Harian (Muhasabah Nikmat): Jadikan kebiasaan untuk menyebutkan minimal 3 hingga 5 hal yang kamu syukuri setiap pagi atau malam. Praktik ini mengalihkan fokus dari kekurangan menuju kelimpahan Allah.
Sedekah untuk Membersihkan Hati: Sedekah bukan hanya membersihkan harta, tapi juga membersihkan hati dari rasa sempit dan egoisme. Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah dapat menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).
Shalat Tepat Waktu dan Khusyuk: Shalat bukan sekadar kewajiban, tapi mi’raj (sarana penghubung) dan “penguat jiwa”. Prioritaskan waktu shalat melebihi semua urusan dunia.
Baca Al-Qur’an Setiap Hari: Imam Ibn Mas’ud (w. 32 H) berkata: “Siapa yang ingin mengetahui apakah ia mencintai Allah, lihatlah apakah ia mencintai Al-Qur’an.” Al-Qur’an adalah syifa’ (obat) bagi hati yang gelisah.
Perasaan tidak bahagia, gelisah, dan hampa di tengah kemudahan hidup modern seringkali bukan disebabkan oleh kekurangan harta atau pencapaian, melainkan karena kita lupa satu prinsip agung yang diajarkan Islam: kebahagiaan sejati (thuma’ninah) adalah kondisi hati yang hidup dengan mengingat Allah (Dzikrullah).
Ketenangan bukanlah sesuatu yang dicari di luar, melainkan anugerah yang Allah tanamkan pada hati yang menjaga empat pilar utama:
Dzikrullah: Fondasi utama yang menenangkan jiwa (QS. Ar-Ra’d: 28).
Syukur: Menggunakan nikmat pada jalan-Nya, yang dijamin Allah akan menambah keberkahan hidup (QS. Ibrahim: 7).
Tawakkal: Menyerahkan hasil akhir kepada Allah, membebaskan hati dari beban kecemasan dunia (QS. At-Talaq: 3).
Ibadah: Merawat jiwa dengan ‘makanan’ rohani seperti shalat dan Al-Qur’an.
Intinya, jika kita merasa tidak bahagia, mungkin kita hanya lupa menghidupkan hati kita. Kebahagiaan sejati ada di tangan kita, yaitu dengan kembali mendekat kepada Allah dan menaati-Nya.
Sebagai wujud nyata dari rasa syukur (menggunakan nikmat di jalan Allah) dan menjaga kebersihan hati, mari kita amalkan ajaran Rasulullah ﷺ dengan memperbanyak sedekah. Sedekah adalah cara terbaik membersihkan hati dari kecintaan dunia dan menjemput keberkahan.
Jangan tunda kesempatan emas ini. Kini, bersedekah dan beramal saleh bisa dilakukan dengan mudah melalui lembaga resmi dan terpercaya seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, wujudkan hati yang bersyukur dan tenang dengan menyalurkan sedekah terbaik Anda sekarang juga!
Kunjungi website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan menghidupkan hati melalui Dzikrullah dan menunaikan sedekah, kita dianugerahi ketenangan, kelapangan rezeki, dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Bukan Kurang Bahagia, Mungkin Kamu Lupa Satu Hal yang Islam Ajarkan
