Dalam perjalanan hidup, seorang Muslim selalu berada di antara dua sayap: raja’ (harapan) dan khauf (ketakutan). Keduanya bukanlah dua emosi yang saling meniadakan, tetapi dua kekuatan spiritual yang harus berjalan seimbang. Tanpa harapan, hidup terasa gelap dan kehilangan arah. Tanpa ketakutan, hati menjadi sombong dan meremehkan dosa. Karena itu, para ulama menegaskan bahwa keseimbangan antara harapan dan ketakutan merupakan jalan tengah yang tepat bagi seorang hamba menuju Allah.
Harapan dalam Islam bukan sekadar keinginan kosong, melainkan keyakinan bahwa rahmat, pengampunan, dan pertolongan Allah selalu terbuka bagi hamba yang berusaha. Allah berfirman:
“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini menjadi dasar bahwa harapan adalah bagian penting dari iman. Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa raja’ adalah perasaan yang muncul ketika seseorang yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik sebagai balasan atas usaha, doa, dan tawakalnya.
Para ulama menegaskan bahwa harapan sejati harus disertai amal. Ibn Qayyim berkata:
“Raja’ yang benar adalah yang mendorong kepada amal. Adapun harapan tanpa amal hanyalah angan-angan kosong.”
Dengan demikian, seorang Muslim berharap akan ampunan Allah, namun ia tetap memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan menjalani kebaikan demi meraih pahala.
Jika harapan memberi energi untuk maju, maka ketakutan berfungsi sebagai rem moral agar seseorang tidak jatuh dalam kelalaian. Allah berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang saleh:
“Dan mereka senantiasa merasa takut kepada Tuhan mereka, serta mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. Al-Anbiya: 49)
Ketakutan kepada Allah bukanlah rasa takut yang membuat seseorang putus asa, melainkan rasa takut yang mendidik, menghalangi dari maksiat, dan menjaga diri dari amalan sia-sia.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa khauf lahir dari pengenalan terhadap keagungan Allah dan kesadaran akan kelemahan diri. Semakin kuat iman seseorang, semakin dalam rasa takutnya kepada Allah, tetapi semakin besar pula harapannya terhadap kasih sayang Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seandainya seorang mukmin mengetahui kerasnya azab Allah, niscaya tak seorang pun berharap dapat masuk surga. Dan seandainya seorang kafir mengetahui luasnya rahmat Allah, niscaya tak seorang pun berputus asa dari surga.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan kedua sisi: ketakutan agar tidak meremehkan dosa, dan harapan agar tidak terjerumus dalam keputusasaan.
Para ulama sepakat bahwa jalan terbaik adalah menggabungkan keduanya. Dalam Madarij as-Salikin, Ibn Qayyim menggambarkan hati seorang mukmin seperti burung:
Kepala burung adalah cinta kepada Allah (mahabbah)
Dua sayapnya adalah harapan (raja’) dan ketakutan (khauf)
Burung tidak bisa terbang hanya dengan satu sayap. Demikian pula iman seorang hamba tidak akan sempurna tanpa keseimbangan antara keyakinan dan ketakutan.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Seorang mukmin dalam hidupnya harus berada di antara rasa takut dan harapan. Kedua-duanya harus seimbang.”
Imam Asy-Syafi’i menambahkan:
“Dalam keadaan sehat, hendaknya rasa takut lebih dominan agar tidak terjerumus dalam kelalaian. Namun saat menjelang kematian, harapan harus lebih besar agar husnul khatimah.”
Dengan begitu, seorang Muslim tetap waspada dari dosa, tetapi tidak terjebak dalam putus asa.

Seorang Muslim berharap bahwa setiap ujian mengandung hikmah, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Asy-Syarh: 6)
Namun ia juga merasa takut jika ujian tersebut muncul akibat dosa-dosanya, sehingga ia memperbaiki diri dan memperbanyak istighfar.
Ia berharap amalnya diterima
Tetapi ia juga takut amalnya tertolak karena kurang ikhlas atau lalai
Hasan al-Basri berkata:
“Seorang mukmin beramal dengan sungguh-sungguh, namun ia tetap merasa takut, sementara orang munafik berbuat dosa, tetapi merasa aman.”
Keyakinan mendorong seseorang untuk yakin bahwa pintu ampunan selalu terbuka.
Ketakutan membuatnya tidak menunda taubat dan terus memperbaiki diri.
Mencegah putus asa – keyakinan mengingatkan bahwa Allah Maha Pengampun.
Mencegah kesombongan – Ketakutan mengingatkan bahwa dosa sekecil apa pun berbahaya.
Menumbuhkan ketenangan jiwa – Hati menjadi stabil, tidak terlalu optimis hingga lalai, tidak terlalu pesimis hingga hancur.
Menumbuhkan kedewasaan spiritual – Seorang hamba menjadi lebih bijak dalam menyikapi setiap takdir Allah.
Menguatkan ibadah – keyakinan mendorong amal; ketakutan menjaga kehati-hatian.
Keseimbangan antara harapan (raja’) dan ketakutan (khauf) adalah fondasi penting dalam perjalanan hidup seorang Muslim. Dengan harapan, hati tetap optimis, yakin pada rahmat Allah, dan terdorong untuk terus berbuat kebaikan. Dengan ketakutan, hati terjaga dari kelalaian, sifat meremehkan dosa, dan merasa aman dari azab Allah. Dua kekuatan spiritual ini, ketika berjalan seiring, membentuk pribadi Muslim yang matang, berhati-hati namun tetap percaya diri, bersungguh-sungguh dalam beramal tetapi tidak sombong, serta mampu menghadapi berbagai ujian hidup dengan sikap yang lebih matang dan penuh tawakal. Inilah jalan tengah yang diajarkan para ulama: hidup dengan keseimbangan antara harapan yang menggerakkan dan ketakutan yang menjaga.
Sebagai wujud nyata dari iman yang seimbang ini, kita diajak untuk memperbanyak amal saleh, salah satunya melalui sedekah. Sedekah bukan hanya bukti harapan akan pahala Allah, tetapi juga wujud ketundukan dan rasa takut agar kita tidak menjadi hamba yang lalai. Kini, sedekah dapat dilakukan dengan mudah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, tunaikan sedekah terbaikmu melalui website resmi BAZNAS Kota Sukabumi:
https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan menjaga keseimbangan antara harapan dan ketakutan, serta memperbanyak sedekah, Allah senantiasa melapangkan rezeki, menenangkan hati, memberkahi hidup, dan mengalirkan pahala hingga akhirat. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Diantara Harapan dan Ketakutan: Jalan Tengah yang Diambil Seorang Muslim
