Ketahui mengapa banyak orang belum berzakat padahal sudah mampu—mulai dari kurangnya pengetahuan hingga hambatan spiritual. Temukan penjelasan ulama, dalil, dan solusi untuk menunaikan zakat dengan benar bersama BAZNAS Kota Sukabumi.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan sangat penting dalam syariat. Ia bukan sekadar ibadah sosial, tetapi kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Namun kenyataannya, di berbagai negeri muslim—termasuk Indonesia—banyak orang yang secara ekonomi sudah layak menjadi muzakki (pemberi zakat), tetapi belum rutin menunaikannya. Fenomena ini patut direnungkan: mengapa banyak orang belum menunaikan zakat padahal sebenarnya mereka sudah mampu?
Artikel ini membahas secara komprehensif beberapa faktor penyebab yang menjadi penghalang, disertai penjelasan ulama, dalil Al-Qur’an, dan hadis yang relevan.

Kurangnya literasi keagamaan yang mendalam mengenai fikih zakat menjadi akar masalah. Zakat sering kali disalahpahami sebagai sedekah biasa atau kewajiban yang sangat eksklusif.
Sebagian besar orang belum menjadi muzakki karena tidak memahami kapan dan siapa seseorang wajib zakat. Banyak yang mengira zakat hanya untuk orang yang sangat kaya, padahal syaratnya cukup sederhana: harta mencapai nisab (batas minimal) dan haul (jangka waktu kepemilikan).
Imam Nawawi dalam Al-Majmū’ menjelaskan:
“Zakat wajib bagi setiap muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan sempurna haulnya, tanpa memandang jenis pekerjaannya.”
Artinya, siapa pun yang hartanya telah mencapai batas minimal wajib zakat, maka kewajiban itu melekat.
Kewajiban ini ditegaskan Allah SWT:
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…” (QS. At-Taubah: 103).
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa zakat adalah kewajiban yang harus diambil, bukan pilihan.
Sebagian orang memandang zakat sebagai bentuk sedekah biasa atau infak sunnah, padahal zakat berbeda secara hukum dan konsekuensi. Zakat adalah rukun Islam, sedangkan sedekah adalah amalan sunnah.
Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:
“Zakat adalah ibadah wajib yang meninggalkannya termasuk maksiat besar.”
Nabi SAW pun memberi ancaman tegas bagi orang yang enggan menunaikan zakat. Dalam Hadis riwayat Muslim:
“Tidak ada pemilik harta yang tidak menunaikan zakat kecuali hartanya akan disiksa pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Kesalahan memahami kedudukan zakat membuat banyak orang menyepelekannya. Mereka merasa sudah cukup bersedekah sesekali, padahal zakat memiliki ketetapan syariat yang tidak boleh digantikan.
Banyak muslim mampu tetapi tidak merasa wajib zakat karena tidak tahu bahwa jenis hartanya termasuk harta wajib zakat (maal). Jenis-jenis ini meliputi:
Zakat uang dan tabungan,
Zakat emas/perhiasan yang disimpan,
Zakat pendapatan/gaji (zakat profesi),
Zakat perdagangan, dan
Zakat investasi tertentu.
Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha kontemporer menegaskan bahwa zakat profesi termasuk dalam zakat maal atau dianalogikan (qiyas) kepadanya, sehingga setiap pemasukan yang mencapai nisab wajib dizakati jika telah berlalu waktu tertentu atau dikeluarkan segera setelah diterima (zakat penghasilan). Kurangnya pengetahuan membuat banyak yang tidak menyadari bahwa harta mereka sebenarnya wajib dizakati setiap tahun.
Penghalang yang paling mendalam bersumber dari hati dan kecintaan yang berlebihan terhadap harta.
Ini adalah faktor klasik dan paling fundamental. Manusia memiliki kecenderungan mencintai harta, sehingga sulit melepaskannya meskipun hanya 2,5% dari total harta yang wajib dizakati.
Allah SWT mengingatkan sifat dasar manusia ini:
Artinya: “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20).
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu ujian terbesar manusia adalah rasa kepemilikan yang kuat terhadap harta. Rasa takut miskin ini berbanding terbalik dengan janji Rasulullah SAW:
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah (termasuk zakat).” (HR. Muslim)
Namun secara psikologis, banyak orang merasa seolah hartanya akan berkurang jika dizakati, gagal merasakan bahwa zakat justru melindungi dan menyucikan harta sebagaimana disebut dalam QS. At-Taubah: 103.
Banyak orang mampu secara penghasilan, tetapi merasa selalu kekurangan. Pola hidup konsumtif sering kali membuat seseorang merasa selalu kekurangan, walaupun penghasilannya sebenarnya sudah melebihi nisab zakat.
Nabi SAW bersabda:
“Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, ia ingin dua lembah…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keinginan yang tidak ada habisnya dan tuntutan gaya hidup modern yang tinggi membuat seseorang sulit berzakat, karena ia selalu merasa hartanya belum stabil atau masih harus dialokasikan untuk kebutuhan sekunder.
Sebagian orang berpikir bahwa menjadi muzakki akan membuat orang lain mengetahui kekayaan mereka, atau mereka tidak nyaman terlihat sebagai “orang kaya” di hadapan publik.
Padahal, para ulama menjelaskan bahwa zakat boleh diberikan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, sesuai kebutuhan. Allah berfirman:
Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu baik; tetapi jika kamu menyembunyikannya… itu lebih baik bagi kamu.” (QS. Al-Baqarah: 271).
Rasa malu atau enggan dalam hal menunaikan kewajiban bukanlah alasan untuk menundanya.
Faktor lingkungan dan keraguan terhadap institusi turut menyumbang pada minimnya kesadaran berzakat.
Sebagian orang enggan menunaikan zakat karena ragu apakah zakatnya akan disalurkan dengan benar. Mereka khawatir dana tidak sampai kepada mustahiq (penerima zakat) atau digunakan tidak semestinya.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa pada masa Nabi dan para khalifah, zakat diserahkan kepada amil resmi agar pendistribusian lebih adil dan teratur. Hal ini menunjukkan bahwa menyerahkan zakat melalui lembaga resmi adalah praktik syariat yang benar, selama lembaga tersebut amanah.
Allah sendiri menetapkan amil (pengurus zakat) sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat (QS. At-Taubah: 60). Namun, keraguan terhadap transparansi lembaga zakat sering membuat seseorang menunda-nunda zakatnya, padahal dirinya sudah berkewajiban.
Zakat adalah ibadah finansial yang secara fundamental memiliki dampak sosial. Orang yang tidak memiliki empati sosial yang kuat cenderung enggan berzakat, meskipun secara ekonomi mampu.
Umar bin Khattab ra. pernah berkata:
“Tidak ada hak pada harta kecuali zakat, kecuali jika seseorang ingin menambah (sedekah).”
Ini menunjukkan bahwa zakat adalah bentuk tanggung jawab minimal seorang kaya terhadap masyarakat. Sebaliknya, ketika seseorang tidak memahami tanggung jawab sosial ini, ia cenderung menahan hartanya.
Lingkungan sosial sangat memengaruhi praktik ibadah seseorang. Bila lingkungan kerja, pergaulan, atau keluarga tidak peduli terhadap zakat, seseorang cenderung meniru dan tidak memprioritaskan kewajiban ini.
Allah mengingatkan pentingnya lingkungan yang baik:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (beriman).” (QS. At-Taubah: 119).
Lingkungan yang baik mendorong syariat; lingkungan yang buruk memudarkan kewajiban.
Ibadah zakat, seperti ibadah lainnya, perlu dilatih dan dibiasakan. Banyak orang tidak terbiasa menghitung dan menyalurkan zakat sejak muda, sehingga ketika harta mereka bertambah, zakat pun tidak menjadi kebiasaan rutin.
Ibnul Qayyim dalam Tariq al-Hijratain mengatakan bahwa amal yang tidak dibiasakan akan terasa berat untuk dilakukan, meskipun kewajiban itu jelas
Fenomena banyaknya Muslim yang sudah mampu namun belum menjadi muzakki adalah cerminan kompleksitas antara tuntutan syariat dan godaan duniawi. Penghalang utama bukanlah ketidakmampuan finansial, melainkan kombinasi dari minimnya ilmu (tentang nishab dan haul), kuatnya sifat kikir (syuhhul nafs), dan keengganan untuk mengambil tanggung jawab sosial. Zakat, yang sejatinya adalah pembersih harta dan jiwa, sering kali disalahartikan sebagai beban, padahal ia adalah investasi terbaik untuk akhirat.
Inti dari ibadah zakat adalah pengakuan bahwa harta adalah titipan Allah SWT, dan di dalamnya terdapat hak bagi kaum fakir miskin. Dengan menunaikan zakat, kita tidak hanya membersihkan harta dari hak orang lain, tetapi juga menegakkan pilar ekonomi sosial Islam, yaitu pemerataan kekayaan dan pengentasan kemiskinan secara sistematis.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang telah mencapai kemampuan finansial (harta telah mencapai nishab dan haul), menunaikan zakat adalah wujud nyata dari ketaatan dan keimanan yang sesungguhnya.
Sebagai wujud nyata dari kesadaran terhadap kewajiban zakat dan anjuran bersedekah, marilah kita segera menunaikan amal kebaikan. Jadikan zakat sebagai prioritas utama sebelum kebutuhan sekunder dan konsumtif.
Kini, menunaikan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) bisa dilakukan lebih mudah, terpercaya, dan sesuai syariat melalui lembaga resmi yang amanah seperti BAZNAS Kota Sukabumi. Dengan menyalurkan ZIS melalui lembaga resmi, kita membantu memastikan dana disalurkan secara adil dan terprogram kepada para mustahik.
Yuk, wujudkan keimanan Anda dan bersihkan harta dengan berzakat dan bersedekah!
Kunjungi website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan menunaikan zakat dan memperbanyak sedekah, kita memperoleh keberkahan, kelapangan rezeki, serta pahala yang terus mengalir hingga akhirat. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Kenapa Banyak Orang Belum Jadi Muzakki Padahal Sudah Mampu?
