Ketika dunia terasa tidak ramah, Islam mengajarkan kita untuk menjadi rumah bagi diri sendiri. Temukan panduan lengkap dengan dalil Al-Qur’an, hadits, pendapat ulama, serta aksi nyata untuk merawat hati, menguatkan jiwa, dan menemukan ketenangan.
Ketika Dunia Tidak Ramah, Jadilah Rumah untuk Dirimu Sendiri
Dalam perjalanan hidup, kita sering menemui masa ketika dunia terasa tidak ramah: orang-orang mengecewakan, situasi tidak berjalan sebagaimana harapan, dan hati terasa sesak oleh tekanan. Pada saat seperti itu, banyak orang mencari tempat untuk berlindung, namun lupa bahwa tempat teraman sesungguhnya adalah diri sendiri yang berpegang pada Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa ketenangan bukan berasal dari dunia luar, tetapi dari hati yang bersandar kepada Allah, memelihara jiwa, dan merawat pikiran.
Artikel ini membahas bagaimana Islam membimbing kita agar mampu menjadi “rumah” bagi diri sendiri—tempat pulang yang menenangkan, menguatkan, dan mendekatkan pada Allah meski dunia sedang tidak ramah.
1. Dunia Memang Tempat Ujian, Bukan Tempat Tenang Sepenuhnya
Allah SWT telah menegaskan bahwa kehidupan dunia tidak pernah menjadi tempat yang benar-benar stabil. Dunia memang penuh ujian, dan itu sifatnya.
Allah berfirman:
“Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini menunjukkan kepastian ujian. Ujian adalah sunnatullah, dan ketenangan tidak diberikan oleh dunia—melainkan oleh Allah kepada hamba yang bersabar dan tetap berpegang pada-Nya.
Maka, ketika dunia terasa tidak ramah, sebenarnya kita sedang berjalan pada jalur yang sudah ditetapkan: dunia memang tempat dinamika, bukan tempat istirahat mutlak.
2. Menjadi Rumah untuk Diri Sendiri: Konsep dari Ajakan Allah untuk Menjaga Jiwa
Islam mengajarkan agar seorang muslim menjaga diri, jiwa, dan emosinya. Ini bukan sekadar konsep psikologis modern, tetapi bagian dari syariat.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membinasakan dirimu.”
(QS. An-Nisa: 29)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini tidak hanya melarang tindakan fisik yang merusak diri, tetapi juga segala bentuk menyakiti jiwa, termasuk memforsir diri, menghina diri, dan membiarkan diri dalam kesedihan berlebihan.
Artinya, menjaga diri adalah perintah syariat. Ketika dunia tidak memeluk kita, Islam memerintahkan kita untuk memeluk diri sendiri dengan kasih sayang.
Hadits Nabi SAW juga memperkuat hal ini:
“Sesungguhnya dirimu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari)
Ibn Hajar menjelaskan bahwa hak diri mencakup istirahat, makanan, kesehatan fisik, dan kesehatan mental. Jadi, merawat diri bukan egois—justru anjuran Nabi.
3. Ketenangan Itu Berasal dari Dalam: Hati yang Dekat dengan Allah
Sering kali kita merasa tidak aman karena menaruh harapan terlalu besar pada manusia dan dunia. Padahal, ketenangan tidak berasal dari eksternal.
Allah berfirman:
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Imam As-Sa’di menyebutkan bahwa ketenangan hati adalah hadiah terbesar bagi orang yang berzikir. Dunia bisa bikin pusing, tetapi hati yang dekat dengan Allah tidak goyah.
Ketika dunia keras, zikir, doa, dan ibadah memberi ruang aman dalam hati—sebuah rumah batin yang tidak bisa disentuh dunia luar.

4. Orang Lain Tidak Selalu Bisa Dipercaya, Tapi Allah Tidak Pernah Mengecewakan
Salah satu alasan dunia terasa tidak ramah adalah karena manusia sering mengecewakan. Ini sudah diberitahu oleh Nabi SAW.
Beliau bersabda:
“Seorang mukmin itu akrab dan ramah, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak ramah.”
(HR. Ahmad)
Namun, para ulama menekankan bahwa ramah tidak berarti menggantungkan kebahagiaan pada manusia. Syaikh Ibn Utsaimin menjelaskan:
“Berbuat baiklah kepada manusia, tetapi jangan bergantung hati pada mereka. Karena siapa yang berharap pada manusia, ia akan sering kecewa.”
Artinya, jika ingin kuat, kita harus berdiri di atas kekuatan diri—bukan validasi orang lain.
5. Jadikan Hati sebagai Tempat Kembali, Karena Itulah yang Akan Menopangmu
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa salah satu ciri hati yang sehat adalah hati yang mampu menenangkan pemiliknya ketika dunia bergejolak. Ia menulis:
“Hati adalah raja; jika ia baik, seluruh diri akan baik. Jika hati rusak, seluruhnya akan ikut rusak.”
Oleh sebab itu, membangun hati yang kuat, lembut, dan dekat pada Allah adalah fondasi utama menjadi “rumah” bagi diri sendiri.
6. Memaafkan Diri: Konsep yang Juga Ada dalam Islam
Ketika dunia tidak ramah, kita sering menjadi terlalu keras pada diri sendiri. Padahal Allah Maha Pemaaf. Mengapa kita tidak memaafkan diri sendiri?
Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Ibn Katsir berkata bahwa ayat ini menjadi prinsip besar bahwa Islam tidak ingin manusia hidup dalam tekanan berlebihan—baik fisik maupun mental.
Dari sisi ini, memaafkan diri, menghibur diri, dan menerima kekurangan adalah bagian dari syariat untuk hidup penuh rahmat.
7. Tanda Kita Menjadi Rumah Bagi Diri Sendiri
Menurut ulama dan kajian akhlak, seseorang disebut telah menjadi “rumah” bagi dirinya ketika:
-
Tidak bergantung pada validasi manusia.
-
Tidak keras pada diri sendiri saat gagal.
-
Tenang dalam ibadah, bukan gelisah karenanya.
-
Mampu berkata “cukup” kepada hal yang melelahkan.
-
Mampu memberikan nasihat lembut untuk dirinya sendiri.
Ini sesuai ajaran Nabi:
“Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
(HR. Muslim)
Kuat di sini termasuk kuat hatinya.
8. Aksi Nyata Untuk Menjadi Rumah Bagi Diri Sendiri
Agar artikel ini tidak hanya teoritis, berikut langkah-langkah praktik yang bisa langsung dilakukan:
1. Perkuat hubungan dengan Allah 15 menit setiap hari
-
5 menit membaca Qur’an
-
5 menit zikir (astaghfirullah, subhanallah, alhamdulillah)
-
5 menit doa apa adanya kepada Allah
Ini akan membangun ketenangan batin.
2. Tulis tiga hal yang kamu syukuri setiap hari
Ini metode tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) yang dianjurkan banyak ulama, termasuk Imam Al-Ghazali.
3. Latih self-talk Islami
Gantilah ucapan keras pada diri sendiri dengan kalimat lembut:
-
“Allah melihat usahaku.”
-
“Aku manusia, bukan malaikat.”
-
“Aku sedang belajar, bukan gagal.”
4. Perbanyak istighfar
Nabi SAW memperbanyak istighfar bahkan ketika beliau tidak berdosa.
Istighfar membersihkan beban batin.
5. Buat batasan dengan manusia
Jika dunia sekitar terlalu gaduh atau toksik:
-
kurangi interaksi,
-
batasi akses media sosial,
-
jaga jarak dari orang yang menyakitimu.
Ini bukan dosa, tetapi bagian dari merawat diri.
6. Istirahat dengan niat ibadah
Tidur 6–8 jam adalah bagian dari menjaga hak diri.
Nabi SAW bersabda bahwa badan juga memiliki hak.
7. Jadwalkan momen “menenangkan diri”
Misalnya:
-
duduk di tempat tenang 10 menit,
-
mendengarkan murottal,
-
minum teh sambil merenung.
Ini bukan kemewahan. Ini kebutuhan jiwa.

Kesimpulan
Ketika dunia terasa tidak ramah, Islam mengajarkan kita untuk kembali kepada Allah dan menjadikan diri sendiri sebagai rumah yang menenangkan. Kekuatan sejati bukan berasal dari dunia luar, melainkan dari hati yang dijaga, jiwa yang dirawat, dan iman yang terus diperbaharui. Dengan mendekat kepada Allah melalui zikir, doa, dan muhasabah, kita belajar memeluk diri sendiri, memaafkan kekurangan, serta bangkit dari kerasnya hidup tanpa kehilangan arah.
Sebagai wujud syukur atas nikmat ketenangan dan sebagai bentuk pengamalan ajaran Islam tentang kasih sayang dan kepedulian, kita dianjurkan memperbanyak amal kebaikan, salah satunya dengan bersedekah. Kini, sedekah dapat dilakukan lebih mudah dan aman melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, salurkan sedekah terbaikmu melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan memperbaiki hati, menjaga diri, serta menunaikan sedekah dengan ikhlas, Allah melapangkan hidup kita, melimpahkan rezeki, menenangkan jiwa, dan mengalirkan pahala yang tidak terputus hingga akhirat. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Ketika Dunia Tidak Ramah, Jadilah Rumah untuk Dirimu Sendiri
