Ketika hati mulai membandingkan hidup dengan orang lain, apa kata Islam? Artikel ini membahas larangan hasad, pentingnya syukur, qana’ah, serta terapi hati menurut ulama, Al-Qur’an, dan hadits.
Di era media sosial, hidup seakan berubah menjadi ajang pamer kebahagiaan. Semua orang terlihat sukses, mapan, bahagia, dan penuh pencapaian. Namun ada satu hal yang tidak muncul di layar: beban hati kita sendiri. Ketika melihat hidup orang lain tampak lebih baik, lebih tenang, lebih indah, sering muncul bisikan halus dalam hati: “Kenapa hidupku tidak seperti mereka?” Rasa ini kemudian berubah menjadi kebiasaan membandingkan diri, hingga akhirnya berkembang menjadi penyakit hati.
Islam tidak memandang hal ini sebagai masalah sederhana, tetapi penyakit yang dapat merusak iman jika dibiarkan. Ulama, Al-Qur’an, dan hadis memberikan pengarahan sangat jelas tentang bagaimana mengelola hati agar tidak terjerumus ke dalam hasad (iri dengki) atau ketidakridhaan terhadap takdir Allah.
Secara fitrah, manusia memang memiliki kecenderungan membandingkan. Saat melihat kelebihan orang lain, hati spontan melakukan penilaian: “Dia lebih kaya. Dia lebih cantik. Dia lebih berhasil.”
Namun menurut para ulama, akar masalahnya bukan pada perbandingan itu sendiri, tetapi pada kondisi hati yang belum stabil.
Ibn Qayyim menjelaskan:
“Penyakit hati bermula dari dua hal: terlalu banyak melihat nikmat orang lain dan terlalu sedikit melihat nikmat sendiri.”
(Madarij As-Salikin)
Artinya, manusia cenderung fokus pada apa yang tidak dimiliki, bukan apa yang sudah diberi Allah. Akibatnya, hati mudah merasa kurang, meski sebenarnya penuh dengan nikmat.
Faktor lain adalah media sosial, yang membuat kehidupan orang lain tampak sempurna. Syekh Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa media sosial menciptakan ilusi kebahagiaan palsu:
“Seseorang menampilkan sisi terbaik dari dirinya, sementara orang lain mengira itulah hidupnya yang sebenarnya.”
(Islamqa – Penyakit Hati)
Akibatnya, standar “bahagia” menjadi palsu. Orang melihat highlight hidup orang lain, lalu membandingkannya dengan realitas hidupnya yang penuh perjuangan.
Perasaan membandingkan diri bisa berubah menjadi hasad, yaitu tidak suka melihat nikmat orang lain, bahkan menginginkan nikmat itu hilang darinya. Inilah perasaan yang paling dilarang dalam Islam.
Allah berfirman dengan sangat tegas:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain.”
(QS. An-Nisa’: 32)
Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan rezeki, rupa, karier, maupun nasib adalah pembagian Allah, bukan karena seseorang lebih mulia dari yang lain.
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan:
“Hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud)
Hasad bukan hanya dosa sosial—ia dapat menghancurkan amal baik seseorang. Ibn Taimiyah menambahkan:
“Tidak ada yang lebih merusak hati selain hasad. Ia menuntut apa yang Allah belum putuskan untuknya.”
(Majmu’ Fatawa)
Artinya, iri adalah bentuk penolakan terhadap qadar Allah.
Membandingkan diri tidak hanya mengganggu psikologis, tetapi juga merusak spiritual.
Allah berfirman:
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kalian.”
(QS. Ibrahim: 7)
Syukur hilang ketika kita lebih fokus pada kekurangan dibandingkan nikmat. Imam Al-Ghazali berkata:
“Hati yang selalu melihat kelebihan orang lain adalah hati yang sulit bersyukur.”
(Ihya’ Ulumuddin)
Ketika syukur hilang, ketenangan pun ikut pergi.
Ketika terus melihat standar orang lain, seseorang meremehkan potensi diri. Hal ini membuat hidup selalu kalah, meski sebenarnya Allah memberi kelebihan yang unik pada setiap manusia.
Ini bahaya paling fatal.
Ibn Qayyim menjelaskan:
“Hasad adalah suuzan terhadap Allah, karena ia memprotes pembagian rezeki yang Allah tetapkan.”
(Madarij As-Salikin)
Ketika hati memprotes takdir Allah, maka iman mulai melemah tanpa disadari.
Salah satu kesalahan manusia adalah menganggap hidup orang lain lebih ringan. Padahal, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing, hanya saja kita tidak melihatnya.
Allah berfirman:
“Kami uji mereka dengan kebaikan dan keburukan sebagai ujian.”
(QS. Al-A’raf: 168)
Yang terlihat bahagia belum tentu benar-benar bahagia. Yang terlihat tenang belum tentu hidupnya tanpa masalah. Imam Ibn Qayyim mengatakan:
“Tidak ada seorang pun di bumi ini yang selamat dari ujian. Perbedaannya hanya pada bentuknya.”
(Al-Fawaid)
Menyadari hal ini membantu hati berhenti membandingkan.
Rasulullah ﷺ mengajarkan cara termudah untuk menjaga hati:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian…”
(HR. Muslim)
Jika kita selalu melihat ke atas, hati tidak akan pernah puas. Tetapi ketika melihat ke bawah, syukur tumbuh secara otomatis.
Qana’ah bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi kemampuan hati untuk tenang dengan pembagian Allah.
Nabi ﷺ bersabda:
“Beruntunglah orang yang diberi rezeki yang cukup dan hatinya dijadikan qana’ah oleh Allah.”
(HR. Muslim)
Orang qana’ah bukan orang yang kaya, tetapi orang yang merasa cukup.
Setiap kali perasaan iri muncul, baca ayat berikut:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.”
(QS. Ad-Duha: 11)
Para ulama menyebutkan bahwa salah satu cara menghilangkan iri adalah menghitung nikmat sendiri, sekecil apa pun itu.
Ini jarang diketahui, tetapi salah satu obat paling ampuh. Imam Al-Ghazali mengajarkan:
“Jika engkau merasa iri kepada seseorang, doakanlah ia. Itu akan mematikan akar hasad.”
(Ihya’ Ulumuddin)
Ketika hati terbiasa mendoakan kebaikan, maka rasa sesak dan iri perlahan hilang.

Tidak semua orang diberi harta. Ada yang diberi kecantikan namun diuji rapuhnya diri. Ada yang diberi karier tinggi namun diuji rumah tangganya. Ada yang diberi popularitas namun diuji kesepian.
Rezeki bukan hanya uang; ia bisa berupa:
kesehatan,
waktu,
keluarga yang harmonis,
ketenangan,
iman,
rizki halal,
atau aman dari fitnah publik.
Imam Ibn Taimiyah berkata:
“Kebahagiaan bukan terletak pada banyaknya nikmat, tetapi pada lapangnya hati.”
(Majmu’ Fatawa)
Dalam Islam ada perasaan yang dibolehkan, yaitu ghibthah—mengagumi nikmat orang lain tanpa menginginkan nikmat itu hilang darinya.
Misalnya:
iri pada seseorang yang rajin sedekah, lalu ingin menirunya;
iri kepada orang berilmu, lalu termotivasi belajar;
iri kepada orang yang taat, lalu ingin lebih dekat kepada Allah.
Nabi ﷺ bersabda:
“Tidak boleh iri kecuali pada dua hal: orang yang diberi ilmu lalu mengajarkannya, dan orang yang diberi harta lalu menginfakkannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah “iri yang halal”—yang justru menambah amal, bukan menghapusnya.
Membandingkan diri dengan orang lain adalah sifat manusiawi, tetapi ketika dibiarkan tumbuh tanpa kontrol, ia dapat berubah menjadi penyakit hati yang merusak iman, mengikis syukur, dan melemahkan rasa percaya diri. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki porsi rezeki, ujian, dan perjalanan hidup masing-masing. Apa yang tampak indah pada hidup orang lain belum tentu mencerminkan keseluruhan kisahnya.
Melalui Al-Qur’an, hadis, dan penjelasan para ulama, kita diingatkan untuk menjauh dari hasad, memperbanyak syukur, menumbuhkan qana’ah, serta melihat nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Ketenteraman batin bukan datang dari memiliki apa yang orang lain punya, tetapi dari keridaan terhadap apa yang Allah tetapkan bagi kita.
Cara paling efektif untuk mengobati sifat suka membandingkan adalah dengan memperbanyak amal kebaikan dan memperkuat hubungan dengan Allah. Salah satu amalan yang sangat dianjurkan adalah bersedekah, karena sedekah mengikis ketamakan, membersihkan jiwa, dan melapangkan rezeki. Sedekah menjadi latihan untuk merasa cukup, bersyukur, dan peduli kepada sesama—nilai-nilai yang menjadi obat terbaik bagi penyakit seperti iri dan hasad.
Sebagai wujud nyata pengamalan ajaran Islam tentang membersihkan hati, mari kita perbanyak sedekah. Sekarang, sedekah bisa dilakukan dengan mudah dan aman melalui BAZNAS Kota Sukabumi.
Website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Melalui sedekah yang kita tunaikan, semoga Allah memberikan keberkahan dalam rezeki, melapangkan hati, menjaga kita dari penyakit hati, serta menjadikan amal tersebut sebagai pahala yang terus mengalir hingga hari akhir.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Ketika Hati Membandingkan: Apa Kata Islam?
