Pelajari bagaimana Islam menilai like, komentar, dan interaksi digital melalui dalil Al-Qur’an, hadits, serta pendapat ulama. Temukan hukum, adab, dan aksi nyata agar media sosial menjadi ladang pahala, bukan sumber dosa.
Di era digital, jari-jari kita bergerak lebih cepat daripada akal dan hati. Satu klik like, satu komentar spontan, satu unggahan terburu-buru—semuanya dapat membentuk persepsi, memicu emosi, bahkan memengaruhi keberkahan hidup. Media sosial memang memperluas ruang percakapan manusia, namun Islam tetap menjadi kompas moral agar interaksi digital tidak menjadi sumber dosa, fitnah, atau keretakan hubungan.
Islam tidak melihat like atau komentar sebagai hal remeh. Dalam pandangan syariat, setiap aktivitas yang menyentuh ucapan, penilaian, pengaruh, atau hubungan antar-manusia tetap bernilai ibadah—dan akan dihisab di akhirat. Karenanya, seorang Muslim wajib berhati-hati agar interaksi online selaras dengan akhlak Qur’ani dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Allah menegaskan bahwa setiap kata yang keluar dari manusia akan dicatat oleh malaikat:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)
Para ulama seperti Imam Ibn Katsir menegaskan bahwa ayat ini mencakup semua ucapan, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks modern, tulisan digital, komentar, status, caption, bahkan emoji dan like yang bermakna dukungan, termasuk dalam “ucapan” yang akan dipertanggungjawabkan.
Sebuah komentar kasar mungkin hanya beberapa detik ditulis, namun bisa menjadi beban dosa bertahun-tahun. Begitu pula like pada konten maksiat, fitnah, atau kebohongan dapat menjadi bentuk persetujuan yang dihisab.
Dalam Islam, mendukung sesuatu yang buruk termasuk perbuatan tercela. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
Beberapa ulama fikih kontemporer seperti Syaikh Shalih Al-Munajjid dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa like pada konten yang salah termasuk menolong dalam keburukan karena memperluas jangkauan dan memberikan legitimasi.
Contohnya:
Like pada gosip → mendukung penyebaran ghibah
Like pada konten membuka aurat → mendukung kemaksiatan
Like pada opini yang menghina agama → tanda ridha terhadap kekufuran
Sebaliknya, like pada kebaikan bisa bernilai pahala karena termasuk ta’awun ‘alal birri wat-taqwa (kerja sama dalam kebaikan).
Maka, hukum like tergantung pada konten yang didukung—indikasi betapa serius Islam menilai interaksi digital.
Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Para ulama menegaskan bahwa “berkata” dalam hadits mencakup tulisan dan komentar.
mengajak kepada kebaikan
meluruskan kesalahan dengan adab
memberi nasihat
menenangkan suasana
mengandung hinaan, caci maki, atau sarkasme
menyebarkan fitnah
memprovokasi perpecahan
memalukan seseorang di muka publik
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menekankan kewajiban menjaga kehormatan orang lain dalam setiap ucapan. Di media sosial, adab ini sering hilang karena orang merasa “bersembunyi” di balik layar.
Nabi ﷺ menjelaskan:
“Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang ia benci.”
(HR. Muslim)
Di media sosial, ghibah sering dilakukan dengan:
komentar membicarakan kekurangan seseorang
menyebarkan rumor
membahas kehidupan pribadi tokoh publik
Sementara fitnah digital lebih berbahaya karena konten dapat viral dalam hitungan jam.
Allah memperingatkan:
“Fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.”
(QS. Al-Baqarah: 191)
Ulama kontemporer menyebut ghibah online sebagai dosa jariyah karena bisa terus tersebar meski pelakunya sudah berhenti melakukannya—bahkan setelah meninggal.

Era digital membuka pintu riya’ yang halus.
memposting ibadah demi dipuji
berkomentar hanya agar terlihat bijak
memberikan like untuk mencari perhatian seseorang
berlomba menunjukkan kesalehan dalam publikasi
Padahal Nabi ﷺ memperingatkan:
“Yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat bertanya: ”Apakah itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Riya’.”
(HR. Ahmad)
Ulama seperti Ibn Rajab Al-Hanbali menekankan bahwa riya’ di akhir zaman sering bersifat tersembunyi. Media sosial membuatnya lebih rawan.
Interaksi digital meninggalkan jejak yang bisa memengaruhi orang lain dalam jangka panjang. Nabi ﷺ bersabda:
“Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, ia mendapat pahala seperti yang melakukannya.”
(HR. Muslim)
“Dan siapa yang memprakarsai keburukan, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”
(HR. Muslim)
Jika satu komentar buruk membuat ribuan orang marah, pelakunya menanggung efek kemudaratan itu. Jika satu unggahan dakwah menyadarkan banyak orang, pelakunya mendapat pahala jariyah.
Jejak digital bisa menjadi ladang pahala atau timbunan dosa.
Para ulama merumuskan prinsip adab digital berdasarkan dalil syariat:
Berdasar QS. Al-Hujurat: 6.
Jangan komentar atau share sebelum memastikan kebenaran.
Berdasar QS. Qaf: 18 dan HR. Bukhari-Muslim.
Tulis yang baik atau tahan diri.
Berdasar HR. Muslim: “Siapa menutup aib saudaranya…”
Jangan jadikan media sosial sebagai tempat membuka aib.
Berdasar HR. Bukhari: “Seorang Muslim adalah yang tidak mengganggu orang lain dengan lisan dan tangannya.”
Agar terhindar dari riya’, sombong, dan percuma.
Tanya pada diri sendiri:
Apakah ini bermanfaat?
Apakah ini menyakiti?
Apakah ini akan aku pertanggungjawabkan di akhirat?
Jika kontennya syubhat, maksiat, fitnah, atau hinaan—hindari. Diam lebih selamat.
Jangan langsung share, apalagi berita buruk atau gosip tentang seseorang.
unggah motivasi
sebarkan ilmu
beri komentar yang menenangkan
peringati dengan adab jika ada kesalahan
Ini bentuk taubat digital—menghentikan penyebaran dosa jariyah.
Bahkan komentar sederhana seperti “Semoga Allah mudahkan” bisa membuat orang lain lebih kuat.
Sebelum tidur, periksa:
“Apakah hari ini aku menyakiti seseorang lewat layar?”
Jika iya, segera minta maaf.
Interaksi digital dalam Islam bukanlah perkara remeh, sebab setiap like, komentar, dan unggahan merupakan bagian dari ucapan yang akan dihisab di hadapan Allah SWT. Dengan memahami dalil Al-Qur’an, hadits Nabi ﷺ, serta nasihat para ulama, kita belajar bahwa media sosial dapat menjadi ladang pahala jika digunakan untuk menyebarkan kebaikan, namun bisa pula berubah menjadi sumber dosa ketika digunakan untuk fitnah, ghibah, atau mendukung kemaksiatan. Menjaga adab, hati-hati dalam menekan tombol like, serta menulis komentar yang menenangkan bukan hanya etika digital, tetapi ibadah yang bernilai di sisi Allah.
Sebagai wujud nyata dalam menjaga hati dan memperbanyak amal kebaikan di dunia digital maupun nyata, kita diajak untuk memperbanyak sedekah. Sedekah adalah cara membersihkan hati, menolak bala, dan mengundang keberkahan dalam hidup. Kini, bersedekah dapat dilakukan lebih mudah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, salurkan sedekah terbaikmu melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/.
Semoga dengan menjaga etika digital dan rutin bersedekah, Allah mudahkan urusan kita, lapangkan rezeki kita, dan jadikan amal tersebut sebagai pahala yang terus mengalir hingga akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Like dan Komentar: Bagaimana Islam Menilai Interaksi Digital?
