Mengapa banyak orang sibuk mengejar amalan sunnah tapi lupa pada yang wajib? Temukan penjelasan lengkap dari hadits, kaidah fiqih, dan pendapat ulama tentang mengapa Allah lebih mencintai amalan wajib daripada sunnah.
Dalam kehidupan beragama, setiap muslim tentu ingin menjadi hamba yang taat dan dekat dengan Allah SWT. Namun, sering kali semangat itu tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang prioritas dalam beribadah. Banyak orang yang sangat bersemangat menjalankan amalan sunnah—seperti umroh, sedekah besar-besaran, atau tasyakuran—namun justru mengabaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawab utama mereka, seperti menunaikan nafkah keluarga, membayar utang, atau menunaikan zakat.
Padahal, dalam kaidah fiqih ditegaskan:
الفَرْضُ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
“Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.”
Kaidah ini menjadi pengingat penting agar setiap muslim menempatkan ibadah sesuai dengan tingkat kewajibannya, bukan hanya berdasarkan emosi spiritual atau ajakan orang lain.
Sebagai contoh nyata, ada seseorang yang secara ekonomi belum stabil. Ia memiliki tanggungan utang dan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga. Namun karena dorongan dari gurunya, ia memilih menggelar tasyakuran umroh besar-besaran dan mengaqiqahi istrinya—padahal orang tua istrinya sudah pernah melaksanakannya.
Tindakan itu bukan hanya melanggar prinsip prioritas, tetapi juga menimbulkan keretakan keluarga dan beban finansial. Sang istri merasa terbebani, keluarga besar tersinggung, dan keuangan semakin terpuruk. Ini adalah contoh nyata bagaimana amalan tambahan yang dilakukan tanpa memperhatikan kewajiban justru menimbulkan mudarat.
Islam tidak mengajarkan keberkahan melalui pelanggaran tanggung jawab. Justru, keberkahan datang dari menunaikan kewajiban dengan ikhlas.

Dalam Islam, amalan wajib menempati posisi tertinggi setelah keimanan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Qudsi:
“Tidak ada amal seorang hamba yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”
(HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan tahapan kedekatan kepada Allah: pertama-tama dengan menyempurnakan kewajiban, baru kemudian menambah dengan ibadah sunnah. Artinya, amalan sunnah tidak akan bernilai sempurna jika amalan wajibnya masih terabaikan.
Sebagai contoh:
Shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, sementara shalat sunnah bisa digugurkan jika ada halangan.
Tayammum hanya berlaku untuk satu ibadah wajib, tapi bisa digunakan untuk banyak ibadah sunnah.
Dalam perjalanan, seseorang boleh shalat sunnah tanpa menghadap kiblat, tetapi tidak untuk shalat wajib.
Semua ini menunjukkan bahwa amalan wajib lebih ketat dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah SWT.

Allah SWT menetapkan amalan wajib bukan sekadar perintah, tetapi sebagai sarana menjaga lima tujuan utama syariat (maqashid asy-syariah): menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Shalat wajib menjaga agama, zakat menjaga harta dan solidaritas sosial, puasa menjaga jiwa, dan nafkah menjaga kelangsungan keluarga.
Ibadah sunnah hadir sebagai pelengkap, memperindah dan menyempurnakan amal wajib.
Karena itu, dalam hadits qudsi disebutkan:
“Tidak ada yang lebih Aku cintai dari seorang hamba selain apa yang Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Artinya, Allah mencintai hamba yang menunaikan kewajiban karena itu bentuk ketaatan sejati, bukan sekadar keinginan spiritual sesaat.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali menegaskan:
“Setiap orang yang sibuk dengan amal sunnah namun melalaikan yang wajib, maka amal sunnahnya itu tertolak, karena Allah tidak menerima amal tambahan sebelum yang pokok dilaksanakan.”
Beliau juga menjelaskan bahwa tanda keikhlasan seseorang dalam beribadah adalah menjaga yang wajib lebih dahulu, baru memperindahnya dengan sunnah. Jadi, kalau seseorang rajin shalat tahajud tapi sering menunda shalat wajib, maka ibadahnya belum seimbang secara syar’i.
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan:
“Wajib itu jika dikerjakan mendapat pahala besar dan jika ditinggalkan berdosa, sedangkan sunnah jika ditinggalkan tidak berdosa. Maka mendahulukan wajib atas sunnah adalah keharusan, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah.”
Imam Nawawi menegaskan, seorang suami yang meninggalkan kewajiban nafkah, lalu menggunakan uang untuk amalan sunnah seperti sedekah besar atau tasyakuran, maka ia telah menyalahi syariat.
Fenomena “sibuk mengejar sunnah tapi melupakan yang wajib” banyak terjadi karena kurangnya pemahaman fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyyat).
Banyak orang tergoda dengan janji-janji hikmah spiritual dari berbagai amalan—seperti memperlancar rezeki, mendatangkan jodoh, atau menolak bala—padahal hikmah terbesar justru datang dari ketaatan pada kewajiban.
Seseorang mungkin merasa tidak ada “efek luar biasa” dari membayar utang atau memberi nafkah keluarga, karena itu dilakukan rutin. Namun Allah menilai ketulusan dan tanggung jawab tersebut jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan seribu amalan tambahan yang berlebihan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berjanji:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Thalaq: 2-3)
Ketakwaan yang dimaksud bukan semata banyaknya ibadah tambahan, tetapi konsistensi dalam menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan.
Banyak kisah nyata yang membuktikan, ketika seseorang fokus pada kewajiban, Allah membukakan pintu-pintu kemudahan hidup:
Orang yang tulus menafkahi keluarganya, Allah lipatgandakan rezekinya dari jalan yang tak disangka.
Orang yang berjuang melunasi utang dengan jujur, Allah mudahkan hidup dan lapangkan hatinya.
Orang yang mendahulukan kewajiban haji sebelum kemewahan dunia, Allah gantikan dengan kelapangan rezeki dan ketenangan batin.
Semua itu terjadi bukan karena amalan sunnah yang “aneh-aneh”, tetapi karena kekuatan niat dan ketundukan terhadap kewajiban syar’i.
Islam menuntun umatnya untuk hidup seimbang dalam beribadah. Kita tidak menolak amalan pelengkap, karena amalan seperti itu memiliki keutamaan besar dalam menyempurnakan amal wajib. Namun, menukar posisi kewajiban dengan hal yang bersifat anjuran adalah kekeliruan besar.
Langkah bijak yang perlu dilakukan:
Pahami dulu kewajiban utama dalam hidup: shalat lima waktu, menafkahi keluarga, menunaikan zakat, menjaga amanah pekerjaan, dan melunasi utang.
Laksanakan dengan niat tulus karena Allah, bukan karena gengsi atau pandangan manusia.
Setelah mantap di kewajiban, barulah perkuat dengan ibadah anjuran seperti sedekah, shalat malam, atau perjalanan ibadah ke tanah suci.
Jaga keseimbangan, agar ibadah tidak menjadi sumber masalah sosial atau ekonomi.
Dari seluruh pembahasan di atas, kita dapat memahami bahwa amalan wajib adalah prioritas utama dalam kehidupan seorang muslim.
Menunaikan kewajiban berarti menunjukkan ketaatan sejati dan cinta yang tulus kepada Allah SWT. Ibadah sunnah tentu mulia, namun ia hanya bernilai sempurna jika kewajiban telah tertunaikan dengan baik.
Jangan sampai semangat menjalankan sunnah justru membuat kita lalai terhadap yang wajib. Karena keberkahan hidup tidak lahir dari banyaknya amalan tambahan, melainkan dari ketaatan pada perintah yang Allah tetapkan sebagai kewajiban.
Sebagai wujud nyata ketaatan dan keseimbangan dalam beribadah, mari kita tunaikan kewajiban bersedekah sebagai bentuk kepedulian sosial yang juga diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Kini, bersedekah bisa dilakukan lebih mudah melalui lembaga resmi seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, salurkan sedekahmu melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan menunaikan kewajiban dan memperindahnya dengan amalan sunnah seperti sedekah, kita termasuk hamba yang dicintai Allah SWT, diberi kelapangan rezeki, dan memperoleh pahala yang mengalir hingga akhirat.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya Mengapa Banyak Orang Sibuk Mengejar Sunnah, Tapi Lupa pada yang Wajib?, kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Mengapa Banyak Orang Sibuk Mengejar Sunnah, Tapi Lupa pada yang Wajib?
