Pelajari pentingnya menjadi Muzakki menurut Al-Qur’an, Hadis, dan ulama. Ketahui kewajiban zakat, syarat Muzakki, serta manfaatnya bagi kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah Muzakki—yaitu orang yang mengeluarkan zakat ketika sudah memenuhi syarat. Namun, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, perlu nggak sih kita jadi Muzakki? Apakah status Muzakki itu wajib dicapai setiap Muslim? Atau hanya anjuran saja?
Banyak yang belum mengetahui bahwa menjadi Muzakki bukan sekadar amalan biasa, tetapi merupakan kewajiban mendasar dan bagian integral dari identitas seorang Muslim yang paripurna. Artikel ini akan menjelaskan secara lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat ulama, mengapa kita tidak hanya perlu, tetapi wajib menjadi Muzakki jika telah memenuhi syarat.
Secara bahasa, Muzakki berarti “orang yang menyucikan.” Dalam istilah fikih, Muzakki adalah:
“Setiap Muslim yang memenuhi syarat wajib zakat dan menunaikannya kepada penerimanya yang berhak.”
Zakat sendiri berarti “tumbuh,” “berkah,” atau “suci.” Jadi, seorang Muzakki adalah orang yang dengan kesadarannya menyucikan harta dan mengembangkan kebaikan dengan cara menyerahkan hak orang lain. Status ini adalah penanda bahwa seseorang telah mencapai kemandirian finansial yang berkah, sekaligus memiliki ketaatan spiritual yang tinggi.

Allah SWT memerintahkan zakat dalam banyak ayat. Bahkan, perintah zakat hampir selalu digandengkan dengan salat, yang menunjukkan betapa pentingnya kedudukan zakat, setara dengan ibadah ritual tertinggi.
Kewajiban ini disebutkan secara eksplisit:
“Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Tujuan utama zakat adalah membersihkan pemilik harta dan hartanya itu sendiri:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menunjukkan bahwa menjadi Muzakki bukan hanya pilihan, tetapi merupakan bagian dari sistem ibadah yang ditujukan untuk menyucikan diri (tathir) dan harta (tazkiyah).
Zakat menjadi indikator keimanan yang membawa keberuntungan:
“Sungguh beruntung orang-orang beriman… dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun: 1–4)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa zakat adalah ciri orang beriman yang akan meraih keberuntungan (al-muflihūn).
Para fuqaha dan ulama besar Islam sepakat bahwa kewajiban menjadi Muzakki, bagi yang memenuhi syarat, adalah mutlak dan tidak bisa ditinggalkan. Mereka menggarisbawahi zakat sebagai rukun dan hak wajib:
Imam An-Nawawi, dalam karyanya yang monumental Al-Majmu’, menegaskan bahwa: “Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan haul.” Artinya, siapa saja yang hartanya sudah memenuhi syarat otomatis wajib menjadi Muzakki.
Imam Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin, bahkan menegaskan bahwa zakat adalah rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan, dan orang yang memenuhi syarat tetapi tidak menunaikannya termasuk kategori dosa besar (kabair).
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan QS. At-Taubah: 103, menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya agar mereka disucikan dari sifat buruk dan cinta dunia yang berlebihan. Ini menunjukkan dimensi spiritual Muzakki.
Imam Malik, dalam kitabnya Al-Muwaththa’, menekankan aspek keadilan sosial dengan menyatakan: “Zakat adalah hak wajib yang harus disalurkan oleh pemilik harta kepada penerimanya berdasarkan ketetapan Allah.” Jadi, menjadi Muzakki bukan sekadar memberi, tetapi memenuhi hak orang lain.
Intinya, seluruh ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) memandang bahwa kewajiban zakat adalah pilar syariat yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan.
Rasulullah SAW memperkuat status Muzakki sebagai Muslim yang ketaatannya paripurna dan memberikan ancaman bagi yang menolaknya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Islam dibangun di atas lima perkara… (di antaranya) menunaikan zakat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa zakat adalah pilar utama keislaman. Tanpanya, bangunan Islam seseorang dianggap tidak lengkap.
Selain penyucian harta, zakat juga menyucikan jiwa. Rasulullah SAW bersabda:
“Sedekah itu memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi)
Zakat sebagai sedekah wajib (fardhu) memiliki efek penyucian yang sangat kuat. Ia membersihkan hati dari sifat kikir dan kesalahan yang mungkin dilakukan.
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras kepada orang yang menahan zakat:
“Tidak ada pemilik harta yang tidak menunaikan zakatnya kecuali harta itu akan dipanaskan di neraka, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka…” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa menolak menjadi Muzakki saat syarat terpenuhi adalah dosa besar yang mendatangkan azab.
Kewajiban menjadi Muzakki bukan hanya soal menghindari azab, tetapi juga meraih manfaat duniawi dan ukhrawi:
Menyucikan Harta dari Hak Orang Lain: Harta yang kita miliki tidak sepenuhnya milik kita. Allah berfirman: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat: 19). Dengan menjadi Muzakki, harta kita menjadi halal, bersih, dan penuh keberkahan.
Menumbuhkan dan Memberkahi Harta: Zakat tidak membuat miskin. Nabi SAW bersabda: “Harta tidak akan berkurang karena disedekahkan.” (HR. Muslim). Zakat memiliki jaminan keberkahan dan janji penggantian dari Allah SWT, melipatgandakan pahala.
Menghapus Sifat Kikir: Zakat adalah latihan untuk melepaskan keterikatan pada dunia, membersihkan jiwa dari sifat kikir (bukhul) yang dapat merusak keimanan.
Penyeimbang Sosial: Zakat adalah sistem jaminan sosial Islam. Ia memastikan perputaran harta yang lebih merata, sehingga kesenjangan sosial dan kemiskinan bisa ditekan, mewujudkan keadilan ilahiah.
Menurut kesepakatan ulama, seseorang otomatis wajib menjadi Muzakki jika memenuhi syarat harta (Nisab dan Haul):
Muslim
Memiliki Harta yang Mencapai Nisab (batas minimal)
Harta Tersebut Milik Penuh
Telah Berlalu Satu Tahun (Haul) untuk jenis harta tertentu (seperti emas, perak, dan perdagangan).
Jika harta Anda telah mencapai batas Nisab dan Haul, status Muzakki bukan lagi pilihan anjuran, melainkan kewajiban yang mengikat.
Perlu nggak sih kita jadi Muzakki?
Jawabannya: Ya, sangat perlu, dan wajib jika syaratnya terpenuhi.
Menjadi Muzakki adalah panggilan ketaatan yang melampaui sekadar urusan finansial. Ini adalah identitas seorang Muslim yang ingin membersihkan diri, menunaikan hak kaum lemah, dan mengamalkan perintah Allah secara utuh. Ulama telah sepakat bahwa setiap Muslim yang hartanya mencapai Nisab dan Haul wajib menjadi Muzakki. Status ini adalah penanda kedewasaan iman dan pengakuan bahwa keberkahan rezeki datang dari Allah SWT.
Sebagai wujud nyata pengamalan rukun Islam dan nilai-nilai kepedulian sosial, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya dengan menunaikan zakat dan bersedekah.
Kini, menunaikan kewajiban zakat dan bersedekah bisa dilakukan lebih mudah dan terjamin penyalurannya melalui lembaga resmi dan terpercaya seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, tunaikan kewajiban zakat, infak, dan sedekah Anda melalui website resmi: https://baznaskotasukabumi.com/.
Semoga dengan menunaikan kewajiban zakat, kita memperoleh kesucian harta, kelapangan rezeki, serta pahala yang terus mengalir (jariyah) hingga akhirat. Jadikan diri kita bagian dari kaum Muzakki yang dicintai Allah SWT.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Perlu Nggak Sih Kita Jadi Muzakki? Banyak yang Belum Tahu
