Ulasan Islami tentang apakah apresiasi diri termasuk syukur atau justru nafsu terselubung. Dibahas dengan dalil Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ulama—membimbing muslim agar bijak menikmati nikmat tanpa berlebih-lebihan.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-reward menjadi tren yang sangat populer. Setelah bekerja keras, banyak orang merasa perlu memberikan hadiah kepada diri sendiri: membeli kopi mahal, jalan-jalan, atau belanja barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Bagi sebagian orang, self-reward dianggap sebagai bentuk apresiasi diri. Namun, bagi sebagian yang lain muncul pertanyaan: Apakah ini bentuk syukur? Atau sebenarnya hanya nafsu halus yang dibungkus dengan istilah modern?
Islam sebagai agama yang sempurna tentu memiliki pandangan yang seimbang dalam hal kenikmatan dunia, syukur, dan pengelolaan hawa nafsu. Menariknya, pembahasan tentang “self-reward” jarang dikaitkan dengan perspektif fikih dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Padahal, dua hal inilah yang justru menentukan apakah self-reward tergolong ibadah atau jebakan hawa nafsu.
Secara konsep, self-reward tidak sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Manusia memang butuh istirahat, hiburan halal, dan penghargaan terhadap usaha diri. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari)
Dalam hadits ini, para ulama seperti Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia perlu menjaga keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan kebutuhan fisik-jiwa. Hiburan yang halal dapat menjadi bagian dari menjaga kebugaran dan ketenangan batin.
Bahkan Allah juga berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik?”
(QS. Al-A’raf: 32)
Ayat ini menjadi dalil bahwa menikmati karunia Allah adalah hal yang diperbolehkan—bahkan dianjurkan—selama tidak berlebihan dan tidak mengarah pada kemaksiatan.
Maka dari itu, self-reward bisa menjadi ibadah apabila diniatkan sebagai bentuk syukur, menjaga kesehatan jiwa, atau sebagai sarana menyegarkan kembali semangat untuk beribadah dan bekerja.
Masalah muncul ketika self-reward berubah menjadi justifikasi untuk memuaskan hawa nafsu. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa hawa nafsu itu memiliki banyak wajah; terkadang tampak jelas, terkadang tersamar dalam bentuk yang tampak positif.
Beliau berkata:
“Betapa banyak manusia yang tertipu oleh hawa nafsunya sendiri, padahal ia menyangka sedang berbuat baik.”
(Madarij As-Salikin)
Dalam konteks modern, seseorang bisa menganggap dirinya sedang “mengapresiasi diri”, padahal sebenarnya ia hanya menuruti keinginan sesaat:
membeli barang mewah padahal kebutuhan mendesak tidak terpenuhi,
merasa wajib self-reward setiap selesai bekerja sedikit,
menjadikan self-reward sebagai pelarian dari stres, bukan solusi,
memaksakan gaya hidup yang tidak sejalan dengan kemampuan finansial.
Allah telah memperingatkan:
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Shad: 26)
Jika self-reward dilakukan tanpa kontrol, tanpa tujuan, dan tanpa memperhatikan kemampuan, maka yang terjadi bukan lagi syukur—melainkan israf (berlebih-lebihan). Padahal Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

Dalam Islam, syukur memiliki tiga unsur:
Syukur dengan hati: mengakui bahwa nikmat berasal dari Allah.
Syukur dengan lisan: memuji Allah dan mengucapkan hamdalah.
Syukur dengan perbuatan: menggunakan nikmat untuk kebaikan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa syukur adalah menggunakan nikmat sesuai tujuan Allah menciptakannya, bukan sekadar merayakan keberhasilan dengan kesenangan dunia.
Artinya, self-reward tidak otomatis disebut syukur. Yang disebut syukur adalah:
menggunakan harta dengan bijak,
tidak merusak diri,
tidak berlebihan,
niatnya untuk mendekat kepada Allah.
Jika seseorang membeli makanan enak untuk menghindari burnout dalam ibadah dan pekerjaan, itu bisa menjadi syukur. Tetapi jika membeli barang mahal agar terlihat keren di media sosial, itu bukan syukur—melainkan riya’ atau mengikuti hawa nafsu.
Para ulama tazkiyah (penyucian jiwa) punya cara sederhana untuk menguji suatu kenikmatan: tanyakan niat dan dampaknya.
Jika self-reward dilakukan karena stres, sedih, atau untuk menutup kekosongan hati, maka ini tanda bahwa self-reward menjadi pelarian. Dalam Islam, pelarian terbaik adalah dzikir, bukan belanja.
Jika setelah self-reward kamu lebih semangat ibadah, itu baik.
Jika malah makin malas, itu tanda bahaya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik amal adalah yang pertengahan.”
(HR. Baihaqi)
Self-reward yang memaksakan diri termasuk israf.
Jika tidak bisa, berarti sudah menjadi candu—dan ini berbahaya.
Beberapa bentuk self-reward yang sejalan dengan syariat antara lain:
makan makanan favorit yang halal dan tidak berlebihan,
istirahat setelah bekerja keras,
jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran tanpa pemborosan,
membeli sesuatu untuk mendukung ibadah atau produktivitas,
memberi sedekah sebagai bentuk self-reward spiritual.
Menariknya, sebagian ulama memandang bahwa memberi sedekah adalah self-reward paling tinggi, karena memberi ketenangan, pahala, dan menumbuhkan rasa syukur.
Allah berfirman:
“Apa yang kamu berikan, maka Allah akan menggantinya.”
(QS. Saba’: 39)
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa pengeluaran seseorang harus membawa manfaat dunia sekaligus akhirat. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir; namun berada di tengah-tengah antara keduanya.”
(QS. Al-Furqan: 67)
Dari ayat ini, jelas bahwa self-reward:
boleh → jika seimbang
berbahaya → jika mendorong gaya hidup konsumtif
dipuji → jika membuat seseorang lebih semangat mensyukuri nikmat dan meningkatkan ibadah
tercela → jika menjadi alasan untuk boros dan mengikuti hawa nafsu
Memanjakan diri tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial bukanlah bagian dari syukur.
Sebagian ulama menafsirkan bahwa istirahat itu sendiri bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mengembalikan kekuatan agar dapat beribadah dengan lebih baik. Inilah pemahaman dari kalimat Umar bin Khattab:
“Aku membenci orang yang malas dalam urusan dunia, sebab ia juga akan lebih malas dalam urusan akhirat.”
Waktu istirahat yang sehat—jalan sebentar, minum sesuatu yang disukai, atau memberi ruang bagi pikiran—semua bisa bernilai ibadah jika akhirnya membuat seseorang lebih taat. Namun, jika justru mengundang kelalaian, itu menjadi penyakit bagi jiwa.
Qana’ah adalah merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Qana’ah tidak berarti anti-kenikmatan; tetapi memilih dengan bijak dan tidak rakus. Banyak orang merasa perlu “menghadiahi diri” agar merasa bahagia, padahal kebahagiaan tertinggi lahir dari hati yang merasa cukup.
Ibnul Qayyim berkata:
“Barang siapa yang tidak merasa cukup, maka tidak ada harta yang bisa membuatnya puas.”
Orang yang qana’ah akan menikmati sesuatu secukupnya, tanpa berlomba mengikuti tren atau memaksakan gaya hidup.
Mengapresiasi diri bukanlah sesuatu yang terlarang dalam Islam. Ia bisa menjadi sarana untuk menjaga kesehatan jiwa, memperkuat semangat ibadah, dan meningkatkan rasa syukur. Namun, setiap bentuk kenikmatan harus ditempatkan pada porsinya. Jika dilakukan dengan niat yang benar, sesuai kemampuan, tidak berlebihan, dan tidak melalaikan kewajiban, maka aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah. Sebaliknya, jika hanya menjadi cara halus untuk mengikuti hawa nafsu, memaksakan gaya hidup, atau menjadi pelarian dari masalah, maka ia justru menjauhkan seseorang dari ketenangan dan keberkahan.
Islam mengajarkan keseimbangan: menikmati yang halal, menjauhi yang berlebihan, dan mengarahkan setiap nikmat agar mendekatkan diri kepada Allah. Jalan terbaik untuk menjaga hati tetap bersih adalah dengan menggabungkan rasa syukur dengan amal nyata—salah satunya adalah bersedekah.
Sebagai wujud syukur atas nikmat yang Allah berikan, mari perbanyak kebaikan dengan menunaikan sedekah melalui lembaga resmi dan terpercaya, seperti BAZNAS Kota Sukabumi.
Yuk, tunaikan sedekah dengan mudah melalui website resminya: https://baznaskotasukabumi.com/
Semoga dengan memperbaiki niat, menata hati, dan memperbanyak sedekah, Allah membukakan pintu keberkahan, melapangkan rezeki, serta memberikan ketenangan yang hakiki dalam hidup kita. Aamiin.
Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?
