BAZNAS
  • Tentang Kami
    • Profil
    • Program
    • Laporan
    • Kontak Kami
    • Pengaduan
  • PPID
  • Layanan
    • Rekening Zakat
    • Kalkulator Zakat
    • Konfirmasi Donasi
    • Channel Pembayaran
    • Jemput Zakat
  • Kabar
    • Semua
    • Artikel
    • Cerita Aksi
    • Press Release
  • Donasi
    • Bantuan Sosial
    • Tunaikan Sedekah Terbaikmu Hari Ini
  • ZAKAT
  • INFAK
  • ZAKAT Fitrah
  • FIDYAH
ZAKAT FITRAH
BAZNAS
  • Infak
  • Zakat
  • Fidyah
  • Home
  • Tentang Kami
    • Profil
    • Program
    • Laporan
    • Kontak Kami
    • Pengaduan
  • PPID
  • Layanan
    • Rekening Zakat
    • Kalkulator Zakat
    • Konfirmasi Donasi
    • Channel Pembayaran
    • Jemput Zakat
  • Kabar
    • Semua
    • Artikel
    • Cerita Aksi
    • Press Release
  • Donasi
    • Bantuan Sosial
    • Tunaikan Sedekah Terbaikmu Hari Ini

Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?

19 Nov 2025
Artikel
Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?

Ulasan Islami tentang apakah apresiasi diri termasuk syukur atau justru nafsu terselubung. Dibahas dengan dalil Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ulama—membimbing muslim agar bijak menikmati nikmat tanpa berlebih-lebihan.

Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus? Sudut Pandang Islam yang Jarang Dibahas

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-reward menjadi tren yang sangat populer. Setelah bekerja keras, banyak orang merasa perlu memberikan hadiah kepada diri sendiri: membeli kopi mahal, jalan-jalan, atau belanja barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Bagi sebagian orang, self-reward dianggap sebagai bentuk apresiasi diri. Namun, bagi sebagian yang lain muncul pertanyaan: Apakah ini bentuk syukur? Atau sebenarnya hanya nafsu halus yang dibungkus dengan istilah modern?

Islam sebagai agama yang sempurna tentu memiliki pandangan yang seimbang dalam hal kenikmatan dunia, syukur, dan pengelolaan hawa nafsu. Menariknya, pembahasan tentang “self-reward” jarang dikaitkan dengan perspektif fikih dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Padahal, dua hal inilah yang justru menentukan apakah self-reward tergolong ibadah atau jebakan hawa nafsu.

Self-Reward dalam Kaca Mata Islam

Secara konsep, self-reward tidak sepenuhnya bertentangan dengan Islam. Manusia memang butuh istirahat, hiburan halal, dan penghargaan terhadap usaha diri. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari)

Dalam hadits ini, para ulama seperti Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia perlu menjaga keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan kebutuhan fisik-jiwa. Hiburan yang halal dapat menjadi bagian dari menjaga kebugaran dan ketenangan batin.

Bahkan Allah juga berfirman:

“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik?”
(QS. Al-A’raf: 32)

Ayat ini menjadi dalil bahwa menikmati karunia Allah adalah hal yang diperbolehkan—bahkan dianjurkan—selama tidak berlebihan dan tidak mengarah pada kemaksiatan.

Maka dari itu, self-reward bisa menjadi ibadah apabila diniatkan sebagai bentuk syukur, menjaga kesehatan jiwa, atau sebagai sarana menyegarkan kembali semangat untuk beribadah dan bekerja.

Ketika Self-Reward Menjadi Nafsu yang Terselubung

Masalah muncul ketika self-reward berubah menjadi justifikasi untuk memuaskan hawa nafsu. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa hawa nafsu itu memiliki banyak wajah; terkadang tampak jelas, terkadang tersamar dalam bentuk yang tampak positif.

Beliau berkata:

“Betapa banyak manusia yang tertipu oleh hawa nafsunya sendiri, padahal ia menyangka sedang berbuat baik.”
(Madarij As-Salikin)

Dalam konteks modern, seseorang bisa menganggap dirinya sedang “mengapresiasi diri”, padahal sebenarnya ia hanya menuruti keinginan sesaat:

  • membeli barang mewah padahal kebutuhan mendesak tidak terpenuhi,

  • merasa wajib self-reward setiap selesai bekerja sedikit,

  • menjadikan self-reward sebagai pelarian dari stres, bukan solusi,

  • memaksakan gaya hidup yang tidak sejalan dengan kemampuan finansial.

Allah telah memperingatkan:

“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Shad: 26)

Jika self-reward dilakukan tanpa kontrol, tanpa tujuan, dan tanpa memperhatikan kemampuan, maka yang terjadi bukan lagi syukur—melainkan israf (berlebih-lebihan). Padahal Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

BAZNAS Kota Sukabumi

Syukur Bukan Sekadar Menghadiahi Diri

Dalam Islam, syukur memiliki tiga unsur:

  1. Syukur dengan hati: mengakui bahwa nikmat berasal dari Allah.

  2. Syukur dengan lisan: memuji Allah dan mengucapkan hamdalah.

  3. Syukur dengan perbuatan: menggunakan nikmat untuk kebaikan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa syukur adalah menggunakan nikmat sesuai tujuan Allah menciptakannya, bukan sekadar merayakan keberhasilan dengan kesenangan dunia.

Artinya, self-reward tidak otomatis disebut syukur. Yang disebut syukur adalah:

  • menggunakan harta dengan bijak,

  • tidak merusak diri,

  • tidak berlebihan,

  • niatnya untuk mendekat kepada Allah.

Jika seseorang membeli makanan enak untuk menghindari burnout dalam ibadah dan pekerjaan, itu bisa menjadi syukur. Tetapi jika membeli barang mahal agar terlihat keren di media sosial, itu bukan syukur—melainkan riya’ atau mengikuti hawa nafsu.

Bagaimana Mengetahui Self-Reward Kita Halal atau Nafsu?

Para ulama tazkiyah (penyucian jiwa) punya cara sederhana untuk menguji suatu kenikmatan: tanyakan niat dan dampaknya.

1. Apakah niatnya syukur atau pelarian?

Jika self-reward dilakukan karena stres, sedih, atau untuk menutup kekosongan hati, maka ini tanda bahwa self-reward menjadi pelarian. Dalam Islam, pelarian terbaik adalah dzikir, bukan belanja.

2. Apakah membuatmu lebih dekat kepada Allah atau jauh?

Jika setelah self-reward kamu lebih semangat ibadah, itu baik.
Jika malah makin malas, itu tanda bahaya.

3. Apakah sesuai kemampuan atau memaksakan diri?

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik amal adalah yang pertengahan.”
(HR. Baihaqi)

Self-reward yang memaksakan diri termasuk israf.

4. Apakah kamu bisa berhenti kapan saja?

Jika tidak bisa, berarti sudah menjadi candu—dan ini berbahaya.

Self-Reward dalam Batas Sehat Menurut Islam

Beberapa bentuk self-reward yang sejalan dengan syariat antara lain:

  • makan makanan favorit yang halal dan tidak berlebihan,

  • istirahat setelah bekerja keras,

  • jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran tanpa pemborosan,

  • membeli sesuatu untuk mendukung ibadah atau produktivitas,

  • memberi sedekah sebagai bentuk self-reward spiritual.

Menariknya, sebagian ulama memandang bahwa memberi sedekah adalah self-reward paling tinggi, karena memberi ketenangan, pahala, dan menumbuhkan rasa syukur.

Allah berfirman:

“Apa yang kamu berikan, maka Allah akan menggantinya.”
(QS. Saba’: 39)

Mengelola Kenikmatan & Harta Menurut Islam

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa pengeluaran seseorang harus membawa manfaat dunia sekaligus akhirat. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir; namun berada di tengah-tengah antara keduanya.”
(QS. Al-Furqan: 67)

Dari ayat ini, jelas bahwa self-reward:

  • boleh → jika seimbang

  • berbahaya → jika mendorong gaya hidup konsumtif

  • dipuji → jika membuat seseorang lebih semangat mensyukuri nikmat dan meningkatkan ibadah

  • tercela → jika menjadi alasan untuk boros dan mengikuti hawa nafsu

Memanjakan diri tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial bukanlah bagian dari syukur.

Istirahat dan Kenikmatan Halal sebagai Ibadah

Sebagian ulama menafsirkan bahwa istirahat itu sendiri bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mengembalikan kekuatan agar dapat beribadah dengan lebih baik. Inilah pemahaman dari kalimat Umar bin Khattab:

“Aku membenci orang yang malas dalam urusan dunia, sebab ia juga akan lebih malas dalam urusan akhirat.”

Waktu istirahat yang sehat—jalan sebentar, minum sesuatu yang disukai, atau memberi ruang bagi pikiran—semua bisa bernilai ibadah jika akhirnya membuat seseorang lebih taat. Namun, jika justru mengundang kelalaian, itu menjadi penyakit bagi jiwa.

Apresiasi Diri vs Qana’ah

Qana’ah adalah merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Qana’ah tidak berarti anti-kenikmatan; tetapi memilih dengan bijak dan tidak rakus. Banyak orang merasa perlu “menghadiahi diri” agar merasa bahagia, padahal kebahagiaan tertinggi lahir dari hati yang merasa cukup.

Ibnul Qayyim berkata:

“Barang siapa yang tidak merasa cukup, maka tidak ada harta yang bisa membuatnya puas.”

Orang yang qana’ah akan menikmati sesuatu secukupnya, tanpa berlomba mengikuti tren atau memaksakan gaya hidup.

Kesimpulan

Mengapresiasi diri bukanlah sesuatu yang terlarang dalam Islam. Ia bisa menjadi sarana untuk menjaga kesehatan jiwa, memperkuat semangat ibadah, dan meningkatkan rasa syukur. Namun, setiap bentuk kenikmatan harus ditempatkan pada porsinya. Jika dilakukan dengan niat yang benar, sesuai kemampuan, tidak berlebihan, dan tidak melalaikan kewajiban, maka aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah. Sebaliknya, jika hanya menjadi cara halus untuk mengikuti hawa nafsu, memaksakan gaya hidup, atau menjadi pelarian dari masalah, maka ia justru menjauhkan seseorang dari ketenangan dan keberkahan.

Islam mengajarkan keseimbangan: menikmati yang halal, menjauhi yang berlebihan, dan mengarahkan setiap nikmat agar mendekatkan diri kepada Allah. Jalan terbaik untuk menjaga hati tetap bersih adalah dengan menggabungkan rasa syukur dengan amal nyata—salah satunya adalah bersedekah.

Sebagai wujud syukur atas nikmat yang Allah berikan, mari perbanyak kebaikan dengan menunaikan sedekah melalui lembaga resmi dan terpercaya, seperti BAZNAS Kota Sukabumi.

Yuk, tunaikan sedekah dengan mudah melalui website resminya: https://baznaskotasukabumi.com/

Semoga dengan memperbaiki niat, menata hati, dan memperbanyak sedekah, Allah membukakan pintu keberkahan, melapangkan rezeki, serta memberikan ketenangan yang hakiki dalam hidup kita. Aamiin.

Untuk referensi bacaan singkat lainnya kunjungi artikel BAZNAS Kota Sukabumi yang mengulas tema Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?

BAZNAS Kota Sukabumi

Share

Baca Juga

Artikel
MENGHADAPI KELUARGA TOXIC,TRAUMA,EMOTIONAL ABOUSE : BERKACA DARI KISAH PARA NABI
13 Aug 2025
Artikel
5 Fakta Penting Curhat di Sosmed: Boleh atau Nggak Menurut Islam?
20 Nov 2025
Artikel
Ngonten Boleh, Tapi Jangan Lupa Batasan Syariat
20 Nov 2025
Artikel
Asyik Scroll, Tapi Hati Perlahan Mati?
20 Nov 2025
Artikel
Fitnah Online: Kok Bisa Semudah Itu Menyakiti Orang?
20 Nov 2025
Artikel
Waspada Normalisasi Pergaulan Bebas: Tantangan Terbesar Remaja Muslim di Era Media Sosial
20 Nov 2025
Artikel
Main Game Sampai Lupa Waktu? Begini Pandangan Islam yang Jarang Dibahas
20 Nov 2025
BAZNAS Gedung Islamik Center, Jl. Veteran II No.2, Gunungparang, Kec. Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat 43111
(0266) 6245222

Kenali Kami

  • Tentang Kami
  • Syarat & Ketentuan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami

Layanan

  • Rekening Zakat
  • Konfirmasi Donasi
  • Kalkulator
  • Channel Pembayaran
  • Jemput Zakat

Donasi

  • Program
  • Zakat
  • Infak
  • Fidyah

Ikuti Kami

  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
  • Baznas Kota Sukabumi
© 2025 - Baznas Kota Sukabumi